Bisnis.com, JAKARTA - Meredanya perang dagang China vs Amerika Serikat berpotensi menurunkan pangsa pasar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional di Negeri Paman Sam, menyusul terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS. Oleh karena itu, Indonesia perlu bergerak cepat dalam berdiplomasi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Rakhman mengatakan perang dagang China vs Amerika Serikat menguntungkan pabrikan TPT nasional berorientasi ekspor. Pasalnya, pabrikan lokal bisa mengisi kekosongan pangsa pasar produk TPT asal Negeri Panda.
"[Perbaikan hubungan dagang China-Amerika Serikat] harus diwaspadai. Tapi, kami berharap [produk TPT asal] Indonesia tetap punya posisi strategis di mata Biden. Kami berharap pangsa pasar kami [di Amerika Serikat] tidak tereposisi oleh China," katanya kepada Bisnis, Senin (9/11/20200).
Berdasar data API, pangsa pasar produk TPT nasional di Amerika Serikat mencapai sekitar 4 persen pada tahun lalu. Adapun, kontribusi produk TPT lokal di pasar global per 2019 mencapai level 2 persen.
Adapun, saat ini pabrikan TPT berorientasi ekspor memiliki tingkat rata-rata utilisasi di atas 80 persen. Sementara itu, rata-rata utilisasi industri TPT nasional berada di kisaran 60 persen, dengan industri hulu TPT memiliki level paling rendah atau di kisaran 50 persen.
Rizal menyatakan permintaan TPT dari Amerika Serikat berkontribusi sekitar 35-40 persen dari total ekspor TPT nasional. Dengan kata lain, pangsa pasar produk TPT Indonesia di Amerika Serikat memiliki peranan penting.
Baca Juga
Selain China, Rizal menyoroti kesempatan pabrikan TPT asal Vietnam dalam perebutan pangsa pasar Amerika Serikat. Pasalnya, Vietnam telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat.
Oleh karena itu, Rizal menyarankan agar pemerintah bergerak cepat dalam membentuk hubungan diplomasi yang baik dengan presiden anyar Amerika Serikat. "Termasuk juga bagaimana merealisasikan perjanjian dagang yang segera bisa dilakukan untuk minimal mempertahankan ekspor ke Amerika Serikat."
API mendata hingga 2018 nilai ekspor garmen Indonesia masih di bawah US$10 miliar, sedangkan Bangladesh dan Vietnam masing-masing hampir menyentuh level US$40 miliar dan US$30 miliar. Di samping itu, pangsa pasar pakaian jadi Indonesia di pasar global belum dapat menembus level tertingginya pada 2001 atau menembus level 2%.
"Kita punya sektor industri yang integral, cuma kelemahan kita tidak ada FTA [free trade agreement] dengan negara tujuan seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. [Selain itu] upah minimum mereka lebih rendah dibandingkan kita dan produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan kita," katanya
Sebelumnya, Rizal memiliki harapan besar akan peningkatan investasi terkait telah disahkannya UU Omnibus law Cipta Kerja. Pasalnya, BKPM mencatat tren investasi TPT sejauh ini hanya meningkat sedikit dan tidak signifikan.
"Meski kami kira efektifitas dari hasil UU ini akan terjadi pada akhir tahun depan mengingat sekarang PP belum dirilis dan pandemi masih berlangsung," ujar Rizal.
Sementara itu, tak hanya investasi industri dalam negeri pun diharapkan lebih bergairah dalam melakukan ekspansi. Rizal menilai sejauh ini kebanyakan pabrikan lebih menerapkan strategi relokasi. Tren relokasi saat ini pun menyasar Jawa Tengah mengingat daerahnya menawarkan upah yang murah.
Menurutnya, belum lama ini setidaknya ada lima pabrikan yang melakukan relokasi di sejumlah daerah di Jawa Tengah antara lain Boyolali, Brebes, Ungaran, dan lainnya.
"Saya kira akan lebih banyak yang pindah mengingat biaya yang ditawarkan di Jawa Tengah lebih efisien dan infrastruktur yang baik ke pelabuhan dibandingkan jika dari Jawa Barat harus ke Tanjung Priok," kata Rizal.