Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Perpanjang Fasilitas GSP, Ini PR Indonesia Selanjutnya

Saat ini, lndonesia merupakan negara eksportir terbesar kedua setelah Thailand dari segi pemanfaatan GSP, sementara pemberian GSP kepada Thailand telah dicabut secara parsial oleh AS.
Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). Bisnis/Abdullah Azzam
Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat diperkirakan tak akan serta-merta terdongkrak usai Washington secara resmi memperpanjang status Indonesia sebagai negara penerima fasilitas tarif preferensi umum (Generalized System of Preferences/GSP).

Pemerintah diharapkan dapat menyiapkan strategi untuk memastikan akses ke pasar AS yang berkelanjutan. Utilisasi GSP sendiri tercatat baru mencapai 13,1 persen dari total nilai ekspor RI ke AS yang mencapai US$20,1 miliar.

Melihat hal ini, Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengemukakan peluang Indonesia sejatinya masih besar mengingat fasilitas GSP mencakup 3.572 pos tarif produk.

“Yang perlu dilakukan Indonesia adalah bagaimana memanfaatkan GSP sebagai instrumen untuk menarik investasi perusahaan yang produknya menyasar produk Amerika Serikat, jadi Indonesia bisa turut serta dalam rantai pasok global,” kata Yose kepada Bisnis, Minggu (1/11/2020).

Yose mengemukakan strategi ini telah dipakai China sejak 1980-an dan disusul oleh Thailand dan Vietnam. Keikutsertaan Indonesia dalam rantai pasok global bakal memperlebar peluang peningkatan ekspor ke AS alih-alih hanya mengandalkan produk asli Indonesia.

“Jika Indonesia masuk dalam global value chain, target ekspor bisa dicapai dengan lebih mudah dibandingkan dengan upaya meningkatkan produk yang asli Indonesia seperti sawit misalnya,” kata dia.

Sebagai catatan, selain mendapat kepastian status sebagai penerima fasilitas GSP, pemerintah Indonesia pun tengah mengusulkan diadakannya negosiasi Limited Trade Deal (LTD) atau kesepakatan perdagangan secara terbatas dengan AS.

LTD ditargetkan dapat mencakup kerja sama perdagangan, investasi hingga sektor informasi, komunikasi dan teknologi yang diharapkan dapat mendongkrak perdagangan dua arah Indonesia dan AS hingga mencapai US$60 miliar pada 2024.

Menanggapi hal ini, Yose mengemukakan negosiasi perdagangan dengan AS akan amat tergantung pada rezim pemerintahan selanjutnya di negara tersebut. Sebagaimana diketahui, AS tengah menggelar pemilihan presiden dengan hasil pemungutan suara yang akan diumumkan pada 3 November 2020.

Menjalin perjanjian dagang bilateral dengan AS sendiri disebut Yose bukanlah perkara yang mudah. AS tercatat terakhir kali mengesahkan kesepakatan bilateral dengan Kolombia dan Korea Selatan pada 2012 silam.

Selebihnya, AS lebih fokus pada perundingan kerja sama regional selama kepemimpinan Barack Obama yang dilanjutkan dengan berbagai peninjauan oleh Donald Trump selama empat tahun terakhir.

“Membahas perundingan dagang dengan Amerika Serikat akan sulit. Apalagi jika periode selanjutnya AS dipimpin oleh Joe Biden, Demokrat cenderung lebih ke kesepakatan regional seperti TPP [Trans Pacific Partnership],” terang Yose.

Dia pun mengemukakan bahwa kesepakatan dagang dengan AS bakal membuat Indonesia memberi konsesi yang besar. Yose memberi contoh Singapura, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memiliki perjanjian dagang dengan AS, yang tak hanya menawarkan bea masuk 0 persen, tetapi juga berbagai insentif lain bagi AS.

“Singapura harus melakukan perombakan besar, tak hanya bea masuk yang menjadi 0. Namun juga penyesuaian aturan penanaman modal dan persaingan usaha sebagai konsesi,” katanya.

Terlepas dari risiko besar tersebut, perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat sejatinya masih membuahkan surplus bagi Indonesia. Bahkan, nilai ekspor Indonesia tercatat tumbuh 1,56 persen secara tahunan selama Januari-Agustus 2020 dengan nilai US$11,82 miliar.

Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menjelaskan bahwa pemerintah terus mendorong para eksportir untuk memanfaatkan skema GSP.

Saat ini, lndonesia merupakan negara eksportir terbesar kedua setelah Thailand dari segi pemanfaatan GSP, sementara pemberian GSP kepada Thailand telah dicabut secara parsial oleh AS.

Pada periode Januari-Agustus 2020, ekspor Indonesia dengan pemanfaatan GSP mencapai US$1,9 miliar atau meningkat 10,6 persen yoy.

Salah satu produk Indonesia yang mengalami peningkatan ekspor periode Januari-Agustus adalah produk furnitur. Beberapa produk furnitur Indonesia mendapatkan pembebasan tarif dalam skema GSP seperti kasur matras yang ekspornya meningkat hingga 155 persen pada periode ini.

“Kami optimistis ke depannya GSP dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para eksportir Indonesia. Meskipun ekonomi AS melemah tahun ini, kami meyakini kinerja ekspor Indonesia ke AS akan tetap terjaga didukung oleh membaiknya aktivitas perdagangan di AS sebagai dampak dari kebijakan reopening,” kata Kasan kepada Bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper