Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih perlu mendalami data-data yang dibutuhkan terkait dengan rencana penjualan minyak berlebih dari produksi di Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, KPK masih harus mengklarifikasi data dan fakta dari seluruh pihak yakni SKK Migas, PT Pertamina (Persero) dan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan.
"KPK mau minta data-data lengkap dulu ke SKK Migas, Pertamina dan Dirjen Anggaran soal harga jual minyak ini sejak 2015 biar kita bisa liat polanya juga," katanya kepada Bisnis, Rabu (29/10/2020).
Pahala mengatakan, perlu adanya pendalaman agar KPK bisa memberikan rekomendasi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Keuangan terkait dengan penjualan minyak Lapangan Banyu Urip yang tidak dapat terserap tersebut. Pasalnya, rencana penjualan minyak dari Banyu Urip yang bakal dilelang dibawah harga minyak mentah Indonesia (ICP), maka SKK Migas bisa tersandung masalah hukum.
Pahala menjelaskan, peraturan yang dikeluarkan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa minyak mentah yang dijual tidak boleh di bawah ICP. "Kalau jual dibawah ICP kan kerugian negara ada, selain itu melanggar hukum nya juga ada. Lengkap sudah 2 unsur korupsi, itu yang mereka [SKK Migas] takuti," jelasnya.
Pahala mengatakan, belum lama ini, Seretaris Jenderal Kementerian ESDM telah menyurati KPK untuk meminta arahan untuk menjual minyak dari Banyu Urip karena adanya kondisi mendesak yang bisa membuat tangki penyimpanan penuh pada November nanti.
Baca Juga
Kondisi itu muncul karena minyak tersebut tidak terserap di dalam negeri karena memiliki spesifikasi yang tidak memenuhi standar minyak yang dapat diolah oleh kilang milik Pertamina. Menurut dia, di tengah kondisi kejadian di luar biasa ini, maka perlu adanya Peraturan Menteri ESDM dan revisi aturan Kementerian Keuangan yang mengatur dapat menjual minyak mentah di bawah harga ICP tapi tetap dengan durasi waktu.
"Jadi karena darurat maka boleh dibawah ICP asal lelang terbuka dan lain-lain untuk jangka waktu 1 tahun aja misalnya," ungkapnya.
Untuk mengatasi kondisi kelebihan pasokan itu, Pahala menuturkan dari pembahasan yang dilakukan terdapat sejumlah opsi yakni tidak jual minyak mentah selama di bawah ICP atau patuh pada aturan dengan ditampung di kapal yang disewa seharga US$1,5 per barel untuk tiap bulannya.
Namun, opsi itu dinilai tidak menguntung bagi pemerintah karena harga sewa kapal yang harus ditanggung pemerintah. Opsi kedua adalah mensubtitusi jenis minyak mentah yang diolah oleh Pertamina, tapi hal itu dapat menyebabkan melimpahnya solar di dalam negeri.
Pahala melanjutkan, opsi ketiga adalah memotong produksi dari Lapangan Banyu Urip. Namun dampak dari pilihan tersebut akan lebih merugikan negara karena banyak komponen yang harus berhenti termasuk penerimaan negara. Opsi terakhir, adanya revisi aturan agar minyak mentah tersebut bisa dijual di bawah ICP. "Dari semua opsi, negara pasti rugi. Dipilih yang ruginya paling dikit," jelasnya.
Arief Setiawan Handoko, Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas mengatakan terdaapt potensi pengurangan atau pembatasan produksi apabila stok minyak mentah dari Lapangan Banyu Urip tidak segera dijual.
Dia menturukan, pandemi Covid-19 membuat Pertamina memiliki stok minyak yang berlebih dan kebutuhan dari kilang-kilang Pertamina untuk minyak mentah turut berkurang. "Kalau tidak terjual potensi harus curtailment. Kalau curtailment itu lucu saja, agak aneh kalau curtail. Disaat kita mau menggenjot produksi ini malah di curtail,” katanya.
Untuk itu, rencana mengekspor stok minyak dari Lapangan Banyu Urip menjadi salah satu jalan keluar dari potensi curtailment. Arief mengatakan, pihaknya telah telah meminta pendapat KPK agar bisa memulus rencana itu karena biasanya lelang minyak biasanya dilakukan di bawah harga ICP.
"Sudah ketemu KPK untuk izin atau minta pendapat apabila kita lakukan ekspor harga di bawah ICP dan libatkan beberapa pihak agar jaga compliance atau isu yang akan hadir di kemudian hari," ungkap Arief.