Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemenperin Minta Pertamina Bangun Pabrik Karet Sintetis

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meminta Pertamina untuk memproduksi karet sintetis, mengingat sebagian besar kebutuhan di dalam negeri masih bergantung pada impor.
Ban Mobil. /Bisnis.com
Ban Mobil. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meminta Pertamina untuk memproduksi karet sintetis, mengingat sebagian besar kebutuhan di dalam negeri masih bergantung pada impor.

Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Muhammad Taufik mengatakan pihaknya akan meminta PT Pertamina (Persero) untuk berinvestasi dalam memproduksi karet sintetis. Seperti diketahui, industri ban nasional masih mengandalkan 75 persen dari total kebutuhan karet sintetis dari impor.

"Kami tidak tahu kalau Pertamina mau atau tidak, tapi kami terus mendorong investasi di bahan baku karet sintetis. [Kalau akan investasi], kemungkinan besar [produksi karet sintetis akan di kilang] di Tuban, Balongan, atau Cilacap," katanya kepada Bisnis, Rabu (21/10/2020).

Karet sintetis adalah elastomer buatan. Karet sintetis adalah polimer yang disintesis dari produk sampingan minyak bumi. Permintaan investasi terhadap Pertamina tersebut adalah bagian dari upaya pencapaian target peningkatan investasi pada rantai pasok industri ban dan barang dari karet pada 2021.

Di Indonesia, industri kimia yang memproduksi karet buatan adalah PT Synthetic Rubber Indonesia (SRI), perusahaan patungan antara CAP dan Michelin.

Perusahaan yang didirikan sejak 2013 ini adalah pabrik karet sintetis yang terletak berdekatan dengan kompleks petrokimia di Cilegon dan memproduksi Polybutadiene Rubber (PBR) dan Solution Styrene Butadiene Rubber (SSBR). Pada 2018, SRI melakukan star-up dengan kapasitas 120 KTA (kilo ton per annum).

IMPOR

Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) mendata sekitar 60% bahan baku pembuatan ban masih diimpor. kebutuhan karet sintetis dan carbon black secara konsisten meningkat sejak 2015.

Adapun, satu unit ban pada umumnya memiliki empat bahan baku, yakni karet alam, karet sintetis, carbon black, dan stearic acid. Sementara itu, 90% dari berat compound ban berasal dari karet sintetis dan carbon black

Berdasarkan catatan APBI, pasokan carbon black dari industri kimia hulu nasional belum dapat menembus 40% dari kebutuhan industri ban. Pada 2018, kebutuhan karet sintetis tumbuh 12,21% menjadi 232.400 ton pada tahun lalu. Adapun, kebutuhan carbon black naik tipis 0,82%.

Di samping itu, Taufik juga akan mendorong investasi dengan target meningkatkan jenis portofolio produksi ban. Seperti diketahui, seluruh jenis ban yang diproduksi di dalam negeri mencatatkan performa positif pada neraca dagang ban nasional, kecuali ban radial untuk bus dan truk.

"Kami mengharapkan dan mendorong supaya ada industri di dalam negeri [berinvestasi untuk memproduksi ban radial bus dan truk] karena pasarnya besar," ucapnya.

Dalam catatan Bisnis, hanya ada dua yakni PT Hankook Tire Indonesia dan PT Gajah Tunggal Tbk. APBI mencatat kapasitas gabungan produksi ban radial bus dan truk kedua perusahaan tersebut hanya 250.000 unit per tahun, sedangkan kebutuhan nasional mencapai 3 juta unit.

Seperti diketahui, konstruksi ban radial menggunakan lapisan serat baja yang membuat area kontak permukaan ban radial dengan jalan terdistribusi dengan baik, hal ini akan menghasilkan gesekan yang merata pada permukaan ban. Sehingga usia pakai bisa lebih lama.

Walakin, Taufik berujar sejauh ini telah ada dua pabrikan global yang telah menyampaikan intensi investasi pabrik ban radial bus dan truk pada Kemenperin, yakni Aeolus Tyre Co. Ltd dari China dan Madras Rubber Factory (MRS) Ltd. dari India. Taufik menilai kedua pabrikan tersebut telah memiliki pasar yang besar di negaranya masing-masing.

Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) mendata volume impor ban bus dan truk melonjak 93,67% pada 2018 secara tahunan menjadi 132.995 ton dari 68.668 ton. Tingginya impor ban bus dan truk tersebut disebabkan kemampuan pabrikan dalam negeri yang baru mampu memproduksi sekitar 8% dari kebutuhan pasar atau sekitar 250.000 pasang.

Adapun, volume impor ban bus dan truk pada 2019 hanya mencapai 79.393 ton atau lebih rendah 40,3 persen dari realisasi 2018. Namun demikian, nilai impor ban bus dan truk masih belum turun ke bawah level US$200 juta.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Andi M. Arief
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper