Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah untuk menghapuskan passenger service charge (PSC) di 13 bandar udara dapat mendorong penurunan tarif tiket pesawat atau justru tarif maskapai tetap normal seperti sediakala.
Pemerhati penerbangan yang juga anggota Ombudsman RI Alvin Lie menjelaskan peniadaan tarif PSC cukup mengurangi beban penumpang karena pada umumnya untuk bandara di Soekarno–Hatta penumpang dipungut biaya hingga Rp100.000 di terminal 1 atau sekitar Rp150.000 di terminal 3.
Oleh karena itu, menurut dia, baik bagi penumpang maupun maskapai akan sama-sama memperoleh keuntungan dari penghapusan PSC tersebut.
Alvin mengutarakan dengan penghapusan PSC, tarif tiket bisa saja jadi lebih murah, tetapi juga bisa normal, karena tidak semua maskapai mematok tarif pada batas atas (TBA) .
Maskapai, ungkapnya, memiliki dua opsi yakni menurunkan tiket pesawat setelah PSC dihapus atau menyesuaikan dengan tarif yang serupa ketika PSC tetap diimplementasikan.
Dia menilai dua opsi tersebut tetap tidak merugikan penumpang secara langsung, karena pada akhirnya tidak ada penaikan tarif. “Implikasinya harga tiket bisa terlihat lebih murah karena tak ditambah PSC atau harganya tetap."
Dia memberi contoh Jakarta–Surabaya dengan TBA Rp1,5 juta untuk ekonomi, tetapi maskapai ada yang mengenakan tarif Rp900.000 sampai Rp1 juta yang kalau ditambah PSC menjadi Rp1,1 juta.
"Dengan PSC dihapus, airlines bisa menjual harga dengan harga Rp900.000 atau tetap bisa menyamakan tarifnya di Rp1,1 juta untuk meningkatkan pendapatan,” paparnya pada Rabu (21/10/2020).
Menurutnya, peniadaan PSC di 13 bandara cukup tepat, karena merupakan bandara besar dengan lebih dari 80 persen trafik tidak lepas dari bandara-bandara tersebut.
Alvin juga menilai selama ini pemerintah menjanjikan stimulus bagi maskapai, tetapi realisasinya mungkin masih tersendat dan mungkin dilakukan dalam bentuk lain. Penghapusan PSC ini diharapkan menjadi langkah awal dan bukan hanya berhenti di sini.
Dia menyatakan masa paceklik yang dihadapi maskapai masih cukup panjang dan jika tidak ada program yang dapat meringankan beban, industri ini bisa berubah menjadi kondisi yang berbahaya. Terlebih lagi, lanjutnya, Indonesia sebagai negara kepulauan akan mengalami masalah konektivitas jika industri ini kolaps.
Dia juga berharap pemerintah mengkaji lebih dalam apakah faktor biaya menjadi satu-satunya yang paling efektif mendorong pergerakan, karena mungkin saja terdapat unsur-unsur lainnya.
Mengenai PSC, Alvin mengatakan komponen tersebut merupakan retribusi bandara atau biaya yang dibayarkan pengguna transportasi udara untuk fasilitas yang digunakan selama di bandara. Selama ini penumpang dalam membayarkan tiket hanya menanggung biaya angkutan udara. Tarif ini dipungut di bandara keberangkatan dan bukan kedatangan
Sebelumnya, Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto menyampaikan badan usaha angkutan udara niaga yang melaksanakan kegiatan angkutan udara pada rute penerbangan dalam negeri di 13 bandara wajib melakukan penyesuaian pada sistem penjualan tiket maskapai terkait peniadaan tarif PJP2U (Rp0) pada komponen tambahan tiket yang dijual kepada calon penumpang pada 23 Oktober 2020 hingga 31 Desember 2020.
Selain itu, maskapai diminta menyiapkan data manifes penumpang yang valid untuk proses rekonsiliasi dengan penyelenggara bandara.