Bisnis.com, JAKARTA – Riset McKinsey & Company Indonesia memperkirakan sebanyak 23 juta pekerjaan di Indonesia akan hilang atau tergantikan pada 2030 seiring dengan terjadinya automasi.
Meski demikian, pekerjaan-pekerjaan baru akan lahir dengan jumlah yang lebih tinggi.
Managing Partner di McKinsey & Company Indonesia Phillia Wibowo mengemukakan sebanyak 30 persen tugas dalam 60 persen pekerjaan di Indonesia berpotensi terimbas automasi. Sebagai contoh, dia menjelaskan pekerjaan supir tidak akan hilang, tetapi tugas navigasi yang biasanya dikuasai supir akan tergantikan oleh kehadiran teknologi peta.
“Jadi untuk pekerjaan yang tak terimbas pun membuat orang harus memperbarui skill-nya. Memang kalau melihat imbas automasi terhadap tugas dan pekerjaan akan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia karena ada kurang lebih 23 juta pekerjaan yang tergantikan,” kata Phillia dalam diskusi daring pada Rabu (21/10/2020).
Meski demikian, Phillia mengatakan pada saat yang sama akan ada 27 juta pekerjaan yang tumbuh di Indonesia karena perekonomian yang berkembang.
“Wealth akan meningkat. Kita punya komunitas yang muda dan masuk dunia kerja sehingga konsumsi pun naik. Pembeliaan produk makanan dan minuman domestik, begitu pun tuntutan konsumen pada layanan kesehatan terutama karena Covid-19 ini,” lanjutnya.
Baca Juga
Selain 27 juta pekerjaan yang tumbuh, dia juga memproyeksikan potensi lahirnya 10 juta pekerjaan baru. Dengan demikian, total pekerjaan yang hadir karena automasi bisa mencapai 36 juta pekerjaan.
Oleh karena itu, lanjut Phillia, hal terpenting yang harus diperhatikan calon pekerja adalah reskilling atau perbaikan kompetensi untuk menyambut peluang pekerjaan baru yang hadir.
Adapun sejumlah kompetensi utama yang paling diperlukan industri antara lain spesialisasi pada sektor tertentu, interaksi dengan stakeholder, manajemen dan pengembangan masyarakat, dan kesiapan dalam menjalankan aktivitas fisik di situasi yang tak bisa diprediksi.
Phillia menjelaskan kemampuan seperti menjaga interaksi dengan stakeholder dan manajemen pengembangan tidak tergantikan dengan automasi sehingga kebutuhannya tetap tinggi.
Meski demikian, karena sifatnya sebagai soft skill dan tak jamak diajarkan di pendidikan formal, hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemangku kebijakan serta dunia usaha.