Bisnis.com, JAKARTA – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan keberatan Lion Air Group atas Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 15/KPPU-I/2019 tentang perkara kartel tiket pesawat.
Berdasarkan laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikutip, Rabu (14/10/2020), majelis hakim mengabulkan permohonan Pemohon Keberatan. Sebelumnya, Lion diputuskan melanggar Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5/1999 terkait dengan Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri.
"Membatalkan Putusan Termohon Keberatan/Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 15/KPPU-I/2019, tanggal 23 Juni 2020. Menghukum Termohon Keberatan untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah Rp356.000," bunyi amar putusan dalam laman tersebut.
Diketahui, Lion Air Group telah melayangkan gugatan kepada KPPU atas putusan bersalah terkait dengan perjanjian penetapan harga tiket. Pendaftaran permohonan keberatan dilakukan sejak 10 Juli 2020 dan menjalani sidang pertama pada 13 Juli 2020.
Corporate Communication Strategic Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro mengatakan putusan tersebut sudah benar adanya karena selama ini pengaturan harga jual tiket pesawat Lion Air sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Kami masih mengikuti koridor aturan tidak melebihi TBA dan tidak melebihi TBB,” jelasnya.
Baca Juga
Sebelumnya setelah menerima salinan putusan pada 26 Juni 2020, Lion Air mengajukan keberatan atas putusan perkara tersebut dengan mendaftarkan gugatan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bernomor 365/Pdt.Sus-KPPU/2020/PN Jkt.Pst. Lion Air Group mengajukan gugatan atas nama PT Batik Air Indonesia, PT Lion Mentari, serta PT Wings Abadi.
Gugatan ini bermula dari Putusan KPPU yang melibatkan tujuh maskapai udara nasional. Perkara ini bermula dari penelitian inisiatif yang dilakukan KPPU atas layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi penerbangan dalam negeri di wilayah Indonesia.
Penelitian tersebut kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan kepada tujuh Terlapor, yakni PT Garuda Indonesia (Terlapor I); PT Citilink Indonesia (Terlapor II); PT Sriwijaya Air (Terlapor III); PT NAM Air (Terlapor IV); PT Batik Air (Terlapor V); PT Lion Mentari (Terlapor VI); dan PT Wings Abadi (Terlapor VII).
Dalam proses penegakan hukum yang dilaksanakan, KPPU menilai bahwa struktur pasar dalam industri angkutan udara niaga berjadwal adalah oligopoli ketat. Hal ini dengan merujuk kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia terbagi dalam tiga grup yaitu grup Garuda (Terlapor I dan Terlapor II), grup Sriwijaya (Terlapor III dan Terlapor IV), dan grup Lion (Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII).
Maskapai –maskapai tersebut menguasai lebih dari 95 persen pangsa pasar. Selain itu juga terdapat hambatan masuk yang tinggi dari sisi modal dan regulasi yang mengakibatkan jumlah pelaku usaha sedikit dalam industri penerbangan.
Persaingan harga di industri tersebut diatur melalui peraturan pemerintah melalui batasan tertinggi dan terendah dari penetapan tarif atau harga penumpang pelayanan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri, sehingga masih terdapat ruang persaingan harga antara rentang batasan tersebut.
Berdasarkan persidangan, Majelis Komisi menilai telah terjadi kesepakatan antara para pelaku usaha dalam bentuk kesepakatan untuk meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar. Hal ini mengakibatkan terbatasnya pasokan dan harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia.
Salah satunya melalui pengurangan subclass dengan harga murah oleh para Terlapor melalui kesepakatan tidak tertulis antara para pelaku usaha dan telah menyebabkan kenaikan harga serta mahalnya harga tiket yang dibayarkan konsumen.