Pembatasan sosial skala besar (PSBB) ketat kembali diberlakukan di Jakarta seiring tingginya jumlah kasus positif Covid-19. Sebagai ibu kota dan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional, kebijakan ini bisa berdampak luas.
Patut diwaspadai angka pengangguran sebagai multiplier effect dari krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 mengalami lonjakan yang signifikan. Meningkatnya pengangguran yang tinggi dan cepat telah memunculkan fenomena pengangguran sebagai pandemi pascapandemi Covid-19.
Dari proyeksi awal, pandemi Covid-19 akan memicu kenaikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) baru di Indonesia sebesar 4 juta-9 juta orang. Sehingga, angka TPT total mencapai 11 juta - 16 juta orang atau setara 8,1%-9,2% pada tahun ini.
Angka pengangguran ini menunjukkan besarnya potensi kerugian ekonomi akibat Covid-19. Dalam hitungan penulis, total potential economic loss (PEL) tahun ini bisa mencapai Rp396 triliun-Rp576 triliun per tahun. Nilai PEL ini setara dengan 17,7%-25,7% terhadap APBN 2020 atau mencapai 97%-142% terhadap cost recovery atau anggaran penanganan Covid-19 senilai Rp405 triliun.
Untuk menekan angka pengangguran, Pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur maupun mendorong investasi. Karena itu, pandemi Covid-19 telah memberi konsekuensi yakni kita sangat ‘welcome’ dengan investasi khususnya asing.
Secara teori, hal itu tidak salah. Sudah lama menjadi pakem teori klasik (Keynesian) bahwa semakin tinggi investasi semakin mendorong pertumbuhan ekonomi dan semakin besar permintaan tenaga kerja.
Namun, dalam kondisi ekonomi global yang lesu upaya mengandalkan opportunity investment menghadapi jalan sangat terjal. Pasalnya, tarik menarik investasi akan dilakukan oleh semua negara.
Bahkan, perlu dicermati bahwa investasi asing dijadikan sebagai alat politik global untuk menekan suatu negara. Seperti Turki yang diembargo investasi oleh negara-negara Barat.
Namun, tekanan ini justru mendorong Turki untuk mencari jalan keluar. Presiden Erdogan berhasil memanfaatkan utilize unutilized resources untuk meningkatkan kompetensi vokasi warganya.
Tak ada salahnya kita belajar dari Turki. Apalagi, data historis menunjukkan pendekatan dunia usaha dan investasi di Indonesia terbukti hanya mampu menyerap kurang dari 20% tenaga kerja baru.
Usaha Mandiri
Artinya, upaya mendorong masyarakat melakukan usaha mandiri menjadi pilihan kebijakan yang harus ditempuh. Apalagi, peta pengangguran di Indonesia sangat heterogen dari sisi usia, pendidikan, wilayah dan lainnya. Karena itu, langkah intervensi Pemerintah perlu dibuat dengan pola yang komprehensif dan disesuaikan dengan karakteristik individu dan konteksnya (Ferreira dkk, 2015).
Dalam arah kebijakan pembangunan sumber daya manusia (SDM), Presiden Joko Widodo telah menekankan peningkatan kualitas pendidikan vokasi. Salah satunya melalui kebijakan Kartu Prakerja.
Kebijakan ini sudah tepat. Namun, akibat pandemi Covid-19 program ini sulit diimplementasikan. Bahkan dalam kondisi saat ini program Kartu Prakerja hanya bisa melalui online sehingga sulit mencapai peningkatan kualitas skill.
Di sisi lain, dengan anggaran Rp20 triliun masih sulit untuk mengatasi pengangguran. Dari kalkulasi penulis, rasio fiskal sekitar 12% masih sangat berat untuk mengembangkan SDM berbasis pendidikan vokasi.
Lantas apa alternatif solusi yang bisa ditawarkan? Yang pasti, sangat dibutuhkan langkah cerdas yang unusual business. Salah satunya adalah penyediaan layanan pelatihan vokasi yang bermutu dan merata dengan model skill development center (SDC).
Pada intinya SDC ini memberikan layanan pelatihan secara luas, bottom up dan diarahkan menjadi wirausaha mandiri.
Dalam implementasinya strategi SDC berbasis kabupaten/kota sebagai leading point dengan asistensi dari pusat dan provinsi.
Namun melihat kondisi fiskal ke depan yang masih berat, dalam jangka pendek strategi SDC bisa dimulai di tingkat desa. Kuncinya, potensi desa di bawah koordinasi Pemerintah Kabupaten/Kota harus mampu didayagunakan sebagai leading sector.
Selain memiliki local wisdom dan unutilized resources, saat ini juga ada program Dana Desa sebesar Rp1 miliar per desa. Karena Undang-Undang memungkinkan, anggaran Dana Desa perlu dialihkan untuk membiayai pengembangan SDM melalui program pelatihan dengan model SDC.
Namun, implementasi strategi butuh komitmen dan kebijakan yang komprehensif dari pemerintah daerah. Bila syarat ini tidak terpenuhi, SDC ini bisa mengulang nasib pola pendidikan kewirausahaan yang ada saat ini. Yakni 4L: ‘dilatih’, ‘dilepas,’ lama-lama menjadi ‘letih’ dan akhirnya ‘lenyap’.