Bisnis.com, JAKARTA - Selain mengatur tentang klaster ketenagakerjaan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law Ciptaker mengakomodasi tiga ketentuan tekait pemajakan.
Tiga ketentuan pemajakan ini mencakup substansi terkait Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Undang-Undang Pertambahan Nilai, dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP.
Substansi dalam UU PPh misalnya, pemerintah dan DPR menetapkan penghasilan pekerja atau warga negara asing (WNA) yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri yang telah dikenai pajak penghasilan (PPh) hanya atas penghasilan yang diterima dari Indonesia, dikecualikan sebagai obyek pajak.
Syarat pengecualian tersebut yakni memiliki keahlian tertentu dan berlaku selama 4 tahun pajak yang dihitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.
Termasuk dalam hal ini, pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh warga negara asing sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan di luar Indonesia.
Kendati demikian, pemerintah menegaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat tidak berlaku terhadap warga negara asing yang memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Baca Juga
Berganda antara pemerintah Indonesia (P3B) dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra. Adapun Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keahlian tertentu serta tata cara pengenaan PPh bagi warga negara asing nantinya akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK.
Seperti diketahui, pemerintah menyebut substansi dalam Omnibus Law Perpajakan dilebur menjadi salah satu klaster di Undang-Undang (Omnibus Law) Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).
Pemerintah beralasan peleburan substansi UU tersebut selain bisa menghemat waktu juga mengefisienkan proses legislasi dibandingkan membahasnya satu persatu.
"Jadi Omnibus Law perpajakan tidak terpisah dari Omnibus Law Ciptaker. Omnibus Law perpajakan masuk dalam salah satu klaster di UU tersebut," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, Kamis (1/10/2020).
Febrio menambahkan dengan peleburan tersebut, semua substansi yang telah dipaparkan pemerintah sebelumnya praktis bagian dalam Omnibus Law Ciptaker. Termasuk dalam hal ini klausul tentang perubahan sistem pajak dari Worldwide Tax System ke Territorial Tax System.
Adapun pembahasan UU Ciptaker terus dikebut oleh pemerintah. Pembahasan UU Ciptaker bahkan dibahas meski DPR telah memasuki masa reses. Pihak eksekutif maupun legislatif berharap, pembahasan UU ini segera bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Ada yang menyebutkan bulan Oktober 2020.
Dalam catatan Bisnis, Omnibus Law Perpajakan terdiri atas enam pilar yakni pendanaan investasi; sistem teritori perpajakan; subjek pajak orang pribadi; kepatuhan wajib pajak; keadaan iklim berusaha; dan fasilitas pajak.
Artinya, jika UU Ciptaker disahkan pada bulan Oktober, keenam pilar yang salah satunya perubahan sistem pajak dari worldwide ke teritorial tersebut juga akan segera berlaku mengikuti poin-poin yang disahkan dalam Omnibus Law Ciptaker.
"Ini hemat energi dan hemat waktu, sangat efisien untuk Omnibus Law perpajakan," tegas Febrio.