Bisnis.com, Jakarta -Tingginya angka impor bahan baku dan ketatnya regulasi obat membuat industri farmasi di Indonesia sulit berkembang.
Direktur Eksekutif Pengurus Gabungan Perusahaan Farmasi, Dorojatun Sanusi menjelaskan, kondisi industri farmasi di Indonesia yang masih rendah.
Menurutnya, ada kurang lebih 200 industri farmasi di Indonesia dengan total penjualan pada tahun 2019 sebesar Rp 80 triliun. Dengan angka sebesar itu, terbilang masih rendah dibandingkan industri farmasi lainnya.
"Angka 80 triliun ini relatif sangat rendah apalagi jika dibandingkan dengan asosiasi lain," ujar Dorojatun melalui konferensi video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi IX DPR pada Senin, (28/9/2020), dikutip dari Tempo.co.
Darojatun mengatakan, 95 persen kondisi bahan baku obat di Indonesia masih diimpor. Hal itu menjadi upaya GP Farmasi untuk mandiri dalam urusan bahan baku obat di Indonesia.
"Impor lebih banyak daripada ekspor, sehingga penghematan devisa negara belum bisa dilakukan," sebutnya.
Baca Juga
Selain itu, GP Farmasi juga menilai ketatnya RUU Pengawasan Obat dan Makanan juga akan membawa dampak kepada kecilnya peluang menarik investor masuk ke Indonesia.
Dorojatun menilai mengenai investor telah dituang dalam Kebijakan Presiden dalam meningkatkan perekonomian. Ia juga menyarankan untuk melonggarkan ruang untuk masuknya investor ke Indonesia.
"Sejalan dengan upaya Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mengundang investor sebanyak mungkin, sesuai kebijakan Bapak Presiden dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional," sebut Dorojatun.
Sebelumnya, Komisi IX DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Holding BUMN farmasi dan beberapa organisasi farmasi di antaranya Pengurus Gabungan Perusahaan Farmasi, Pengurus Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia, Pengurus Pharmaceutical Manufacturer Group, Pengurus Gabungan Obat Tradisional Asing, Pengurus Asosiasi Pedagang Besar Farmasi, dan Pengurus Asosiasi Apotek Indonesia.