Salah satu dampak besar dari resesi ekonomi global yang terjadi pada saat ini adalah munculnya gelombang kebangkrutan korporasi yang selama ini telah menjadi salah satu pemain besar dalam menyokong pertumbuhan ekonomi global.
Bahkan harian The New York Times juga mengulas bahwa kebangkrutan korporasi sudah menjadi ancaman serius dari resesi ekonomi yang telah dihadapi oleh hampir semua negara di dunia, baik korporasi besar maupun kecil. Ramalan kebangkrutan korporasi tersebut sudah dilakukan oleh berbagai institusi maupun para pakar ekonomi. Salah satunya adalah Edward Altman, profesor sekaligus begawan ekonomi ternama dari Universitas New York.
Ekonom kondang tersebut adalah penemu metode untuk memprediksikan kebangkrutan korporasi yang dikenal dengan nama Z-score. Metode ini sangat populer dan sering dipakai oleh para peneliti maupun ekonom untuk meramalkan kebangkrutan korporasi di berbagai negara.
Data kebangkrutan korporasi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sudah ada 30 korporasi besar dengan rata-rata utang lebih dari US$1 miliar (sekitar Rp14,5 triliun dengan kurs Rp14.500) yang bangkrut dan jumlahnya diperkirakan terus meningkat menjadi 66 korporasi apabila diprediksi dengan menggunakan metode Z-score.
Prediksi ini lebih besar dibandingkan dengan kebangkrutan korporasi yang terjadi pada saat krisis 2008 lalu dimana hanya 49 korporasi besar yang mengalami kebangkrutan.
Kelanjutan dari hasil studi Altman juga memperlihatkan bahwa jumlah korporasi dengan rata-rata utang di atas US$100 juta (sekitar Rp1,45 triliun) akan mencapai 192 korporasi yang mengalami kebangkrutan. Sayang sekali belum ada data resmi yang bisa memberikan informasi akurat mengenai jumlah korporasi yang bangkrut di seluruh dunia, baik untuk korporasi besar maupun usaha mikro, kecil dan menengah.
Adapun data lain menunjukkan bahwa sejak pandemi Covid-19 dimulai di Amerika Serikat, secara keseluruhan sudah ada sekitar 23.114 korporasi yang bangkrut, di Inggris 3.883, Jepang sekitar 780, dan Singapura sekitar 110 korporasi.
Kebangkrutan dari korporasi, khususnya perusahaan multi nasional akan menyisakan sebuah potensi masalah besar dan bisa menimbulkan krisis turunan lainnya. Salah satu dampak negatif dari kebangkrutan korporasi tersebut adalah potensi risiko gagal bayar dari utang-utang mereka menjadi semakin besar dan tidak terkendali, baik dalam bentuk pinjaman dari bank maupun obligasi korporasi.
Perbankan menghadapi dilema yang sangat sulit menghadapi kebangkrutan korporasi tersebut. Di satu sisi, restrukturisasi kredit sangat mustahil dilakukan apabila mereka sudah bangkrut dan menyatakan diri pailit. Di sisi lain, bank-bank yang memberikan fasilitas kredit sangat membutuhkan likuiditas yang menjadi barang langka di saat pandemi.
Adapun bagi investor yang telah membeli obligasi korporasi juga menghadapi situasi yang sulit, karena ancaman gagal bayar sudah menjadi fakta yang tidak bisa dihindari lagi. Diperkirakan saat ini obligasi korporasi yang telah diterbitkan oleh seluruh korporasi global telah mencapai angka US$2,1 triliun. Apabila kita asumsikan bahwa 10% dari korporasi tersebut mengalami kebangkrutan maka uang investor senilai Rp3.045 triliun akan lenyap ditelan bumi.
Kerugian finansial yang dihadapi oleh investor yang memegang surat utang tersebut sangat besar mengingat mereka tidak masuk ke dalam kelompok kreditur separatis (unsecured creditors) yang akan mendapatkan pembayaran pertama.
Demikian halnya para investor yang menjadi pemegang saham korporasi yang sudah menjadi perusahaan terbuka, juga mengalami potensi kerugian finansial yang cukup besar, karena mereka juga dikategorikan sebagai unsecured creditors. Akibatnya mereka bisa gigit jari lantaran tidak mendapatkan apa-apa apabila penjualan seluruh harta setelah dikurangi dengan hak kreditur separatis ternyata tidak menyisakan uang sama sekali.
Kebangkrutan korporasi juga memberikan dampak negatif terhadap struktur pasar dari pelaku ekonomi di sektor riil. Hilangnya beberapa korporasi besar tentunya akan membuat struktur pasar untuk sektor usaha tertentu yang tadinya bersifat persaingan sempurna akan mengarah ke pasar oligopoli atau bahkan monopoli. Pemain yang masih eksis dapat mengendalikan harga barang menjadi lebih mahal di tengah berkurangnya jumlah pemain di industri tersebut.
Konsumen tentunya akan menjadi korban dengan hilangnya beberapa pemain, sehingga mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk membeli barang atau memanfaatkan jasa dari korporasi yang masih eksis.
Pemerintah sendiri juga akan mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit dengan gelombang kebangkrutan korporasi tersebut. Pemasukan pajak menjadi berkurang sehingga mengganggu sumber penerimaan negara, khususnya di saat pandemi ini dimana penanganan Covid-19 beserta dampaknya memerlukan anggaran yang sangat besar.
Bagi masyarakat sendiri, kebangkrutan korporasi juga menjadikan sebagian dari keluarga mereka harus rela kehilangan pekerjaan dan menganggur sampai waktu yang tidak jelas. Pengangguran tersebut akan memicu penurunan daya beli dan konsumsi rumah tangga yang merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat.