Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah diminta segera merealisasikan cetak biru pendidikan di Indonesia demi melahirkan angkatan kerja yang siap menerima tantangan zaman.
Terutama, sejak pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ) berpotensi mempersempit peluang tenaga kerja lokal di pasar kerja Tanah Air.
Direktur Eksekutif Center for Education Regulations & Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mengatakan cetak biru sistem pendidikan di Tanah Air dapat membantu pemerintah mengantisipasi kegagalan pelaksanaan program PJJ.
"Migrasi dari sistem pembelajaran luring menjadi daring sebenarnya buka masalah. Problem besar dalam pembangunan sumber daya manusia adalah tidak adanya cetak biru pendidikan di Indonesia, sehingga hasilnya tidak maksimal," ujar Indra kepada Bisnis, Rabu (16/9/2020).
Dibandingkan dengan Singapura, kata Indra, Indonesia sangat jauh ketinggalan. Adapun, Negeri Singa tersebut telah memiliki cetak biru pendidikan sejak 1997, yakni Singapore ICT Masterplan.
Sementara itu, metode pembelajaran jarak jauh secara daring yang berjalan di Indonesia dilaksanakan melalui metode ceramah virtual yang notabene tidak menarik sehingga proses penyampaian ilmu pengetahuan tidak maksimal.
Baca Juga
Dengan demikian, pemerintah diharapkan segera membuat cetak biru sistem pendidikan nasional agar proses belajar mengajar yang saat ini berubah akibat pandemi Covid-19 tidak melahirkan angkatan kerja yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi.
"Nah, kan kita berharap Nadiem [Menteri Pendidikan] bisa membuat cetak biru pendidikan yang sesuai dengan kemajuan teknologi digital. Namun, sampai dengan hari ini tidak ada program yang mengarah ke sana. Jadi kita bingung, apa yang mau dibuat?"
Sementara itu, lanjut Indra, pemerintah sebenarnya dapat menyusun cetak biru pendidikan di Tanah Air dengan indikator-indokator mendasar seperti jumlah penduduk, berapa banyak sekolah dan guru yang diperlukan, di mana saja titik-titik lokasinya, hingga berapa biaya yang diperlukan untuk merealisasikan hal tersebut.
Dengan demikian, pemerintah dapat mengatisipasi risiko menabung lebih banyak angkatan kerja unskilled yang hanya mumpuni untuk kebutuhan sektor informal.
Sebagai informasi, The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengestimasikan sebanyak 24 juta pelajar di tingkat global bakal mengalami putus sekolah akibat terdampak pandemi Covid-19.
Di Indonesia, Kementerian Kebudayaan sendiri belum lama ini juga telah mengkhawatirkan lonjakan putus sekolah akibat pandemi.
Di sisi lain, dampak buruk jika pelaksanaan PJJ di Tanah Air gagal cukup nyata, yaitu munculnya gelombang angkatan kerja tanpa skill, sehingga penyerapan tenaga kerja pascapandemi atau masa industri 4.0 yang memerlukan kemampuan khusus akan sangat minim.
Hal ini juga membuka peluang bagi tenaga kerja asing (TKA) untuk mengisi slot-slot kosong di sektor formal yang semestinya diisi oleh angkatan kerja Indonesia.
Padahal, sebelum ada pandemi saja RI sudah kepayahan mengatasi masalah unskilled labor dan serapan di sektor informal.