Bisnis,com, JAKARTA — Grab dan Gojek bukan baru kali ini dikabarkan akan merger. Enam bulan lalu, kabar tersebut juga sempat muncul ke permukaan, tetapi gagal. Apa penyebabnya?
Sebagaimana dilansir dari Financial Times, Selasa (15/9/3020), salah satu orang terdekat Masayoshi Son yang tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa SoftBank melihat merger atau penggabungan kedua perusahaan saat itu akan memunculkan praktik monopoli.
“Di mana perusahaan dengan uang tunai paling banyak pada akhirnya mendominasi pasar tertentu,” kata sumber tersebut.
Namun, kondisi tersebut seperti berubah. Pandemi Covid-19 telah menghantam bisnis jasa transportasi berbasis aplikasi atau ride hailing. Sejumlah negara termasuk Indonesia melakukan pembatasan terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi seperti pembatasan jumlah penumpang atau bahkan larangan mengangkut penumpang selama pandemi.
Sumber Financial Times menyebutkan bahwa Son merupakan salah satu orang yang berpengalaman dalam melakukan merger. Sinergi yang luas dan pemotongan biaya akibat merger, dapat berkontribusi pada peningkatan langsung dalam penilaian untuk kedua perusahaan.
Nilai Gojek dan Grab mengalami penurunan secara substansial di pasar sekunder. Saham keduanya diperdagangkan secara informal.
Baca Juga
Saham Grab yang berbasis di Singapura, yang bernilai US$14 miliar atau setara dengan Rp207,83 triliun, pada putaran pendanaan terakhirnya pada 2019, telah diperdagangkan dengan diskon 25 persen.
Sementara itu, saham Gojek yang bermarkas di Jakarta, senilai hampir US$10 miliar (Rp148,45 triliun) tahun lalu, juga telah dijual dengan diskon besar, seiring dengan rencana pemegang saham awal yang ingin keluar.