Undang-undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menetapkan niaga bahan bakar minyak (BBM) merupakan bagian dari kegiatan usaha hilir migas yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Untuk pelaksanaannya, kegiatan usaha niaga BBM ditetapkan dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi usaha kecil, dan badan usaha swasta. UU tersebut menetapkan pelaksanaan kegiatan niaga BBM dilaksanakan melalui mekanisme izin usaha. Adapun untuk harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Secara makro, PP No. 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi yang merupakan aturan pelaksana dari UU Migas No. 22/2001 juga mengatur hal serupa. Perbedaannya, pada PP tersebut dilakukan pengaturan lebih detail mengenai seperti bagaimana prosedur, teknis, dan tahapan untuk memperoleh izin usaha niaga BBM.
Permasalahan mengenai konsistensi kebijakan niaga BBM tercatat mulai terjadi sekitar tiga tahun setelah UU No. 22/2001 diundangkan. Pada 12 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) yang menyerahkan harga BBM pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. MK berpendapat harus terdapat campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM, karena merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup masyarakat luas.
Pada Maret 2009 pemerintah melakukan perubahan terhadap PP No.36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi melalui PP No.30/2009. Intinya berubah menjadi harga BBM diatur dan/atau ditetapkan oleh pemerintah.
Sebelumnya, pada 16 November 2005 pemerintah menerbitkan Perpres No. 71/2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu. Lalu diubah lagi dengan Perpres No. 45/2009. Pemerintah juga menerbitkan Perpres No. 22/2005, Perpres No. 55/2005, Perpres No. 9/2006, dan Perpres No. 15/2012 yang semuanya mengatur mengenai harga jual BBM di dalam negeri.
Pada Desember 2014, keluar Perpres No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Sebagai aturan pelaksanaannya diterbitkan Permen ESDM No. 39/2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM. Perpres tersebut kemudian diubah dengan Perpres No. 43/2018.
Adapun untuk Permen ESDM No. 39/2014 telah dilakukan perubahan hingga enam kali. Tercatat semua Menteri ESDM, termasuk pelaksana tugas, pada kabinet pemerintahan Presiden Jokowi Jilid I melakukan perubahan terhadap permen ESDM No. 39/2014.
Dalam pemerintahan Presiden Jokowi Jilid II juga terjadi penyesuaian kebijakan terkait niaga BBM meski tidak melalui perubahan yang ketujuh atas Permen ESDM No. 39/2014. Pada Februari 2020 pemerintah menerbitkan Kepmen ESDM No. 62. K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui SPBU dan/atau SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan).
Dari perspektif kebijakan publik, perubahan kebijakan niaga BBM yang cukup sering tersebut dapat dibaca bahwa pemerintah seolah tampak responsif dengan situasi, kondisi, dan perkembangan yang ada. Namun dari perspektif bisnis dan sudut pandang pelaku usaha niaga BBM, perubahan yang terlalu sering adalah refleksi ketidakpastian usaha dan akan menjadi disinsentif.
Dalam berbisnis sektor apapun, perubahan kebijakan yang terlalu sering akan menyulitkan pelaku usaha. Perubahan kebijakan umumnya akan berbanding lurus dengan tingkat risiko bisnis. Semakin sering kebijakan dalam suatu segmen bisnis disesuaikan, risiko bisnisnya semakin besar. Pasalnya, dalam kebijakan yang tidak pasti, pelaku usaha akan kesulitan dalam melakukan perencanaan dan mitigasi risiko bisnis.
Mencermati kondisi dan perkembangan yang ada, kebijakan niaga BBM pemerintah perlu lebih cermat dan hati-hati. Apalagi regulasi yang ada telah menetapkan bahwa kagiatan usaha hilir migas termasuk niaga BBM dibuka untuk umum. Konsekuensinya, terdapat beberapa kebijakan yang sebelumnya masih relevan untuk dilakukan, kemudian menjadi tidak dapat diimplementasikan kembali.
Intervensi kebijakan harga BBM yang menyebabkan pelaku usaha merugi dapat diselesaikan melalui mekanisme APBN atau instrumen lain jika hanya melibatkan BUMN. Namun kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan lagi jika dalam pelaksanaan niaga BBM sudah melibatkan pelaku usaha yang lain.
Hal yang juga perlu menjadi perhatian adalah bahwa dalam bisnis terdapat prinsip high risk high return. Jika hal ini terjadi, dapat dipastikan penyediaan BBM di dalam negeri akan berbiaya tinggi dan pada akhirnya konsumen BBM di dalam negeri yang akan membayar biaya-biaya tersebut.
Mencermati permasalahan yang ada, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang dapat menjadi payung hukum kegiatan usaha niaga BBM yang relevan dalam berbagai kondisi. Hal ini mengingat perubahan kebijakan niaga BBM yang terlalu sering justru akan kontraproduktif dengan tujuan kebijakan pemerintah itu sendiri.
Jika perubahan terlalu sering dilakukan, kebijakan niaga BBM yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan daya beli konsumen di dalam negeri justru berpotensi menekan daya beli konsumen itu sendiri. Sesuai dengan prinsip bisnis yang berlaku umum, pelaku usaha tentu akan membebankan biaya-biaya yang timbul, termasuk biaya akibat ketidakpastian kebijakan melalui harga barang dan jasa kepada konsumen.