Bisnis.com, JAKARTA — Langkah PT Pertamina (Persero) melalui Refinery Unit V yang mengekspor produk high speed diesel ke Malaysia menunjukkan tidak adanya konsumen yang menyerap jenis itu di dalam negeri.
Pengamat ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai hingga saat ini jenis konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia paling tinggi masih pada jenis Euro 2.
"Makanya kemudian diekspor, bukan digunakan sendiri untuk mengurangi impor BBM," katanya kepada Bisnis, Selasa (8/9/2020).
Dalam konteks itu, kata Fahmy, wacana untuk menghapus produk BBM RON 88 dan RON (Research Octane Number) 90 menjadi tidak terlihat serius.
Langkah ekspor HSD tersebut menunjukkan tidak ada perencanaan yang matang antara produksi dan konsumsi BBM berjenis Euro 4 di dalam negeri.
"Di satu sisi, Pertamina ekspor BBM oktan tinggi setara Euro-4, tapi di sisi lain masih impor Premium BBM oktan rendah," ungkapnya.
Baca Juga
Adapun, Pertamina melalui Refinery Unit V Balikpapan pada Sabtu (5/9/2020), melakukan pengapalan dan penyaluran perdana produk high speed diesel 50 ppm Sulphur ke Malaysia sejumlah 200.000 barel atau setara dengan 31.800 kiloliter.
Total penjualan dari produk diesel dengan standar Euro 4 tersebut senilai US$9,5 juta.
Jika dihitung per liter, nilai jual ekspor produk tersebut lebih kurang setara dengan Rp5.228 per liter, sedangkan harga jual di SPBU untuk Bio Solar Rp9.400/liter, Dexlite Rp9.500/liter, dan Pertamina Dex Rp10.200/liter.
Namun, Fahmy menilai pada dasarnya produksi BBM dengan standar Euro 4 di dalam negeri bisa lebih murah dibandingkan dengan BBM berkualitas rendah.
Pasalnya, Indonesia memiliki bahan baku diesel yang berlimpah dengan harga yang murah.
"Pertamina Dex belum diproduksi sepenuhnya di kilang Indonesia sehingga harga berlaku menggunakan harga impor yang lebih mahal," ungkapnya.