Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Hendra Sinadia

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia

Hendra Sinadia adalah Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Selain itu, dia juga adalah Co-founder dan Direktur Indonesia Mining Institute.

Lihat artikel saya lainnya

Survival Mode Perusahaan Batu Bara: Relaksasi Royalti dan DMO

Dalam situasi ini semua produsen batu bara dalam kondisi survival mode (mode bertahan hidup), berjuang agar dapat melewati krisis. Selain berharap akan membaiknya harga, tentu penambang juga perlu dukungan pemerintah.
Kegiatan pertambangan batu bara di wilayah operasional PT Adaro Energy Tbk./adaro.com
Kegiatan pertambangan batu bara di wilayah operasional PT Adaro Energy Tbk./adaro.com

Pandemi Covid-19 menghantam sektor industri pertambangan batu bara meski aktivitas produksi sejauh ini relatif berjalan normal. Namun lemahnya permintaan mendorong kejatuhan harga yang menyentuh level terendah dalam 10 tahun terakhir ini.

Kondisi saat ini bahkan dirasakan lebih berat dibandingkan dengan era harga komoditas yang rendah pada 2013—2016 atau saat krisis ekonomi 1998 dan 2008. Dalam situasi ini semua produsen batu bara dalam kondisi survival mode (mode bertahan hidup), berjuang agar dapat melewati krisis. Selain berharap akan membaiknya harga, tentu penambang juga perlu dukungan pemerintah.

Dalam dunia gim online, mode tersebut memaksa pemain terus berlaga selama mungkin tanpa mati dalam sesi yang tidak terputus meski tantangan kian sulit. Situasi yang dihadapi penambang memang seperti itu akibat Covid-19.

Secara global, menurut kajian kami, sekitar separuh dari pemasok batu bara dunia mengalami kerugian di level harga saat ini. Negara produsen yang paling terdampak adalah Indonesia di urutan ketiga dengan perkiraan sekitar 52% pemasok yang mengalami kerugian. Terparah dialami Kolombia (83%) disusul Rusia 61%.

Harga batu bara acuan (HBA) Agustus 2020 di level US$50 per ton (untuk 6322 Kcal/kg gross air received atau GAR) menyamai harga di Februari 2016 yang merupakan level terendah dalam 5 tahun terakhir. Bahkan ada kekhawatiran harga bisa terjerumus di bawah US$50 per ton.

Bagi sebagian penambang yang memproduksi batu bara kalori 4200 Kcal/Kg GAR, harga jual free-on-board (FoB) bahkan sudah berada dibawah level US$26—US$27, level harga menurut konsensus agar bisa impas. Dengan kondisi seperti ini lebih dari separuh dari produksi batu bara nasional sudah di level minus mengingat produksi Indonesia sebagian besar di kalori 4500 Kcal/Kg GAR ke bawah.

Dampak yang signifikan juga dialami para penambang yang sudah listed di Bursa Efek Indonesia (IDX). Menurut beberapa kajian, diperkirakan profitabilitas emiten batu bara di IDX anjlok 25%—50%.

Dampak ini mengkhawatirkan karena hampir 70% batu bara nasional diproduksi dari emiten. Bagi penambang skala besar yang juga memproduksi batu bara kalori menengah dan tinggi tentu memiliki economic of scale, sehingga masih bisa sedikit ‘bernapas’.

Bagi produsen skala kecil tentu dihadapkan pada pilihan sulit. Bagi seluruh produsen, hal yang paling prioritas adalah bagaimana kewajiban pajak ke negara tetap ditaati. Selain itu juga berupaya mempertahankan tenaga kerja. Alhasil produsen terpaksa menurunkan nisbah kupas (stripping ratio) atau S/R dari rencana penambangan agar dapat berhemat dari biaya pemindahan pengupasan batuan penutup overburden yang merupakan komponen terbesar dari biaya produksi.

Jika opsi penurunan S/R ditempuh akan berdampak pada berkurangnya cadangan yang dapat ditambang, sehingga berpengaruh terhadap konservasi cadangan yang mana negara juga akan dirugikan.

Prospek penguatan harga komoditas masih diliputi ketidakpastian. Tren penurunan harga sejak awal kuartal (Q-2) masih mengkhawatirkan. Semua indeks komoditas batu bara menunjukkan pelemahan yang terus berlanjut. Lemahnya harga komoditas akibat kondisi pasokan berlebih dan sebaliknya demand terus melemah.

IHS Markit memproyeksikan koreksi demand batu bara termal usah pandemi sekitar 87 juta ton. Porsi terbesar koreksi demand adalah dari China dan India, dua importir terbesar batu bara termal dunia sekaligus juga produsen terbesar global.

Penurunan permintaan batu bara termal tercatat dari negara-negara Asia Timur lainnya seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan juga punya pengaruh besar. Di Asia Tenggara demand dari Filipina yang 80% impornya dari Indonesia juga terkoreksi akibat kebijakan lockdown. Industri berharap permintaan akan menguat di sisa Q-3 ini serta lebih meningkat di Q-4.

Secara tradisional, permintaan umumnya meningkat saat memasuki masa musim dingin. Namun ketidakpastian masih membayang, terutama kemungkinan serangan kedua Covid-19. Dalam situasi normal, peningkatan impor umumnya terkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi atau pemulihan ekonomi negara-negara importir.

Dengan mulai pulihnya perekonomian di beberapa negara Asia Timur, ada harapan terhadap dorongan peningkatan impor. Sayangnya, untuk kasus di China asumsi di atas belum berlaku, paling tidak hingga pertengahan Q-3 2020.

Membaiknya indikator perekonomian China seperti terlihat di pertumbuhan positif growth 3,2% di Q-2 serta purchasing manager index (PMI) di level 51 semestinya berperan positif bagi impor. Namun kenyataan dilapangan impor dari negara itu masih melemah, karena kecukupan stockpile batu bara mereka.

China dan India sangat berkepentingan untuk menjaga kinerja industri batu bara nasional mereka, termasuk memastikan agar harga jual energinya lebih terjangkau. Dalam hal ini, dukungan upaya diplomasi G to G antara Pemerintah Indonesia dan China serta India perlu lebih diintensifkan.

Memang, berharap akan relaksasi impor batu bara, khususnya dari China dan India bukan satu-satunya solusi. Hal yang diperlukan adalah dukungan pemerintah, khususnya dalam bentuk relaksasi beberapa kebijakan.

Relaksasi (sementara) kebijakan skema pembayaran royalti serta penghapusan penerapan sanksi atas pemenuhan domestic market obligation (DMO) seperti yang diserukan pelaku usaha perlu dipertimbangkan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hendra Sinadia
Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper