Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri kimia menilai kenaikan Purchasing Managers’ Index™ (PMI™) Manufaktur Indonesia dari IHS Markit yang mencatatkan kenaikan dari 46,9 pada Juli 2020 menjadi 50,8 pada Agustus 2020 dan tertinggi selama pandemi bukan karena permintaan yang naik.
Ketua Umum Asosiasi Kimia Dasar Anorganik (Akida) Michael Susanto Pardi mengatakan PMI memang naik tetapi bukan timbul dari real demand sektor riil tetapi lebih kepada kebutuhan para industri manufaktur untuk terus beroperasi dibandingkan stop produksi karena jalan atau tidak jalan.
"Fix cost seperti biaya manusia, biaya mesin, biaya intetest pinjaman, dan lainnya kan tetap harus dibayar," katanya kepada Bisnis, Rabu (2/9/2020).
Michael mengemukakan untuk itu hal tersebut membutuhkan dukungan melalui belanja negara dan program-program insentif dari pemerintah agar belanja masyarakat benar-benar bergairah kembali. Jika tidak, hasil produksi dari industri manufaktur akan berujung kepada penumpukan inventaris yang tinggi.
Saat ini, lanjut Michael, Akida mencatat kapasitas produksi industri masih berjalan di kisaran 40-60 persen. Hingga akhir kuartal III/2020 ini pun dia menilai pabrikan masih akan berjalan dengan kapasitas rendah karena serapan industri hilir belum normal.
"Kuartal III ini kami proyeksi masih berat karena tinggal September saja, juga banyak prediksi ekonom pertumbuhan ekonomi kuartal ini masih akan negatif," ujarnya.
Baca Juga
Michael menambahkan pada Mei dan Juni memang ada sejumlah pabrikan yang melakukan tutup sementara karena tidak menerima permintaan.
Namun, hal itu juga dinilai menjadi salah satu sebab PMI Agustus meningkat. Yakni faktor fix cost dan coba-coba kembali produksi dengan melihat situasi. Pasalnya, melanjutkan berhenti produksi juga akan menjadi lebih rugi.
Sebelumnya, Akida mencatat rata-rata utilisasi pabrikan selama kuartal II/2020 telah anjlok ke bawah level 40 persen. Adapun, level tersebut mengkhawatirkan lantaran industri kimia dasar merupakan industri padat karya yang memiliki resistensi penurunan utilisasi lebih rendah.
"Kami berharap agar PDB pada kuartal III/2020 tidak minus lagi, agar tidak masuk resesi. Sekarang saatnya pemerintah melakukan tindakan extraordinary dengan cara melarang impor [kimia dasar] sampai akhir tahun," ujar Anggota Dewan Penasehat Akida Oki Intan.
Merujuk data BPS, pertumbuhan industri kimia, farmasi, dan obat tradisional berakselerasi pada kuartal II/2020 secara tahunan menjadi 8,65 persen. Adapun, angka tersebut tumbuh lebih landai sepanjang semester I/2020 atau sebesar 7,12 persen.
Oki berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan pelarangan impor produk kimia dasar selambatnya pada 20 Agustus 2020. Menurutnya, tanggal tersebut dipilih karean tepat berada di tengah-tengah kuartal III/2020.
"Saya berharap pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan untuk melarang impor, dan impor hanya diijinkan [jika dilakukan] oleh produsen dan konsumen, bukan trader," ucapnya.
Oki menilai pelarangan impor oleh trader disebabkan oleh minimnya perlindungan pada konsumen dan nilai tambah yang diihasilkan. Seperti contoh, importir trader tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) maupun mematuhi standar nasional indonesia (SNI).
Dalam catatan Akida, volume impor kimia dasar anorganik pada 2019 diperkirakan mencapai 38.879 metrik ton. Angka tersebut naik sekitar 19,5 persen dari realisasi 2014 sekitar 32.365 metrik ton.
Di samping itu, utilisasi industri kimia dasar anorganik menurun pada 2019 menjadi 78 persen dengan kapasitas produksi mencapai 9,7 juta ton.