Bisnis.com, JAKARTA — PT Freeport Indonesia optimistis produksi emas dan tembaga perseroan mampu mencapai target yang direncanakan meskipun terdampak pandemi Covid-19.
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas mengatakan bahwa pandemi Covid-19 berdampak kepada perusahaan. Namun, dia memastikan bahwa kegiatan peningkatan produksi penambangan bawah tanah Grasberg Block Cave dan Deep Level Level Zone (DMLZ) tetap berjalan.
Tonyoptimistis realisasi produksi tahun ini mampu mencapai target yang ditetapkan sebesar 800 juta pon tembaga dan 800.000 ounce emas. Tahun depan target tersebut akan meningkat signifikan mencapai 1,4 miliar pon tembaga dan 1,4 juta ounce emas. Pihaknya percaya diri target-target tersebut akan mampu dicapai.
"Ramp-up tambang bawah tanah tetap kami lakukan. Tahun ini investasi tambang bawah tanah US$1,3 miliar dan posisi produksi bisa dicapai sesuai target," ujar Tony dalam diskusi virtual, Senin (17/8/2020).
Selama periode 2019—2020, PTFI memasuki masa transisi beralih sepenuhnya pada kegiatan produksi tambang bawah tanahnya seiring dengan berhentinya operasi tambang terbuka tahun lalu. Oleh karena itu, kapasitas produksi perusahaan saat ini hanya 60 persen dari kapasitas penuh. Produksi dengan kapasitas penuh baru akan tercapai pada 2022.
Sepanjang semester I/2020, tembaga yang dihasilkan Freeport Indonesia mencapai 321 juta pon, sedangkan produksi emas perusahaan yang beroperasi di Papua itu sepanjang Januari—Juni 2020 mencapai 341.000 ounce.
Baca Juga
Meski kapasitas produksi belum optimal, Tony menyampaikan bahwa penjualan perusahaan dapat ditingkatkan karena tertolong kenaikan harga emas dan tembaga.
"Harga naik karena pertumbuhan China kuartal II/2020 tumbuh 3,2 persen dan impor tembaga cukup banyak. Ini membuat penghasilan kami bertambah, tettapi kami tetap investasi untuk bawah tanah jadi cashflow masih negatif, makanya belum beri dividen. Dividen [dibagikan] baru 2021," katanya.
Di tengah pandemi, ujar Tony, perusahaan juga melakukan efisiensi biaya cukup signifikan yang dilakukan dengan menunda sejumlah proyek sehingga belanja modal bisa dikurangi hingga ratusan juta dolar AS.