Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jaga Kewenangan Daerah, DPD Pelototi 174 pasal RUU Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja berasal dari 79 undang-undang, memuat 15 bab dan 174 pasal dengan menyasar 11 kluster, yaitu menyangkut penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi dan ketenagakerjaan.
Pekerja melakukan bongkar muat semen kedalam kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (14/2/2020). Pemerintah akan melakukan sosialisasi secara rinci kepada masyarakat Indonesia terkait Omnimbus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama
Pekerja melakukan bongkar muat semen kedalam kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (14/2/2020). Pemerintah akan melakukan sosialisasi secara rinci kepada masyarakat Indonesia terkait Omnimbus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama

Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Tim Kerja Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja DPD RI Hasan Basri akan memelototi 174 pasal RUU Ciptaker tersebut agar tidak melucuti kewenangan daerah.

Salah satu pasal yang akan disoroti adalah masalah perizinan invesatasi di daerah.

Wakil Ketua Komite II DPD RI asal Kaltara itu menegaskan bahwa kepentingan daerah akan menjadi fokus perjuangan mereka dalam pembahasan dan pengisian daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sedang berlangsung saat ini.

"Sedikitnya ada 174 pasal yang akan kami pelototi," kata Hasan usai mengikuti rapat koordinasi antara pimpinan DPD RI dan para pimpinan serta anggota alat kelengkapan dewan yang tergabung dalam Tim Kerja RUU Cipta Kerja DPD RI di kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (6/8/2020).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menyebutkan RUU Cipta Kerja berasal dari 79 undang-undang, memuat 15 bab dan 174 pasal dengan menyasar 11 kluster, yaitu menyangkut penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi dan ketenagakerjaan.

Selain itu, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi.

Menurut Hasan, pasal RUU Cipta Kerja itu justru membuat daerah hanya bisa pasrah ketika investasi-investasi besar akan masuk ke daerah karena yang jadi regulator perizinan adalah pemerintah pusat.

Hasan mencontohkan pelaksanaan kewenangan perizinan berusaha dan kegiatan berusaha dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Berikutnya, persoalan tentang perizinan berusaha yang tidak dilaksanakan sesuai dengan NSPK dan norma (tenggat) waktu yang ditetapkan maka pelaksanaan perizinan berusaha diberikan oleh pemerintah pusat.

Lebih lanjut, DPD juga menyoroti pelaksanaan perizinan berusaha dan kegiatan berusaha yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Program Prioritas Pemerintah yang dilaksanakan oleh pemerintah Pusat.

Belum lagi, kata Hasan, pasal-pasal krusial mengenai pertanahan, tata ruang, administrasi perizinan, administrasi pemerintahan, dan lainnya.

"RUU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law ini sangat-sangat jauh dari kata sempurna. Karena sangat dipaksakan dengan alasan reformasi birokrasi," katanya.

Untuk itu, dia meminta masyarakat dan pemerintah daerah dapat lebih proaktif di dalam menyuarakan dan memberikan masukan kepada DPD RI agar dapat menjadi landasan dan acuan Tim Kerja DPD RI sebelum menyampaikan penyempurnaan RUU Cipta Kerja kepada pemerintah.

"Selama ini, DPD RI sebagai wakil [utusan] daerah sudah melakukan berbagai macam upaya. Akan tetapi, pemerintah daerah masih banyak yang pasif dalam menanggapi RUU ini," katanya menandaskan.

Di sisi lain, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan bahwa kewenangan penerbitan perizinan usaha ditetapkan bersama antara pemerintah pusat dan daerah.

"Jadi, kewenangan penerbitan perizinan berusaha pada prinsipnya ada di pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang pelaksanaannya berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh Presiden," kata Susiwijono.

Dia mengungkapkan peraturan pemerintah (PP) pelaksanaan RUU Cipta Kerja justru mengatur mengenai NSPK agar terdapat standar pelayanan penerbitan perizinan usaha oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.

Konsepsi itu juga berkaitan dengan semua penerbitan perizinan berusaha yang selama ini telah dilakukan melalui Sistem Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (OSS).

Sebelumnya, pemerintah telah melahirkan sistem OSS dan melakukan penyederhanaan perizinan berusaha melalui sistem elektronik untuk menyesuaikan proses kemudahan berinvestasi dengan era digital.

"Perizinan berusaha yang terintegrasi dan dilakukan secara elektronik dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja," kata Susiwijono.

Menurut dia, perizinan berbasis elektronik itu juga telah direkomendasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu langkah pencegahan korupsi, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper