Bisnis.com, JAKARTA-Perdagangan di dalam negeri diyakini tetap akan menjadi salah satu penopang utama pemulihan ekonomi nasional jika dibarengi dengan suntikan stimulus untuk mendorong permintaan masyarakat.
Sebaliknya, perdagangan luar negeri diperkirakan tetap membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali menggeliat.
“Perdagangan luar negeri akan sangat tergantung pada pemulihan negara mitra karena ada resesi, kita tidak bisa kontrol bagaimana impor mereka. Yang bisa kita lakukan adalah menjamin produk kita tetap menarik untuk ekspor dengan cost dan kualitas yang terjaga,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani kepada Bisnis, Selasa (28/7/2020).
Di tengah tantangan perdagangan luar negeri tersebut, Shinta mengatakan pasar domestik sejatinya masih bisa berkembang. Hal ini didukung dengan fakta bahwa Indonesia sendiri merupakan negara berpenduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara.
“Perdagangan domestik akan erat kaitannya dengan bagaimana pemerintah berupaya menaikkan daya beli masyarakat dan yang terpenting adalah belanja pemerintah yang diarahkan ke dalam negeri. Ini tentunya mempercepat perdagangan dalam negeri,” lanjutnya.
Dalam hal perdagangan internasional, Shinta berujar masih terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang harus dibenahi Indonesia, terutama menyangkut pendalaman industri mengingat sebagian besar bahan baku dan penolong masih dipasok lewat pengadaan luar negeri.
Baca Juga
Terkait strategi Kementerian Perindustrian untuk mencapai target subtitusi impor sampai 35 persen pada 2022 mendatang, Shinta menyoroti pentingnya pertimbangan pada efisiensi dan biaya produksi.
“Kita perlu hati-hati di sini. Saat ingin menurunkan impor, perlu menjadi catatan bahwa kita sangat tergantung dengan bahan baku dan bahan baku penolong impor. Perlu diperhatikan dari sisi efisiensinya,” ujar dia.
Alih-alih memaksakan hal tersebut, Shinta berpendapat Indonesia perlu meningkatkan upaya untuk terlibat dalam industri berbasis rantai pasok global (GVC) sembari memperkuat industri bahan baku di dalam negeri.
Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengemukakan pemulihan perdagangan luar negeri RI sejatinya bakal sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global, terutama pada mitra dagang utama.
“Jadi jika pada 2021 nanti ekonomi bisa tumbuh sampai 5 persen, harusnya perdagangan juga mulai pulih. Tapi saya kira sebagian mitra dagang kita tahun depan masih akan lambat pemulihannya, artinya ekspor belum bisa tumbuh tinggi,” ujarnya.
Di sisi lain, jika ekonomi domestik pulih lebih cepat dibandingkan perekonomian global, Faisal memprediksi pertumbuhan impor berpotensi lebih cepat dibandingkan ekspor. Dengan demikian, surplus perdagangan Indonesia berpotensi makin tipis ke depannya.
Perdagangan Indonesia sepanjang semester I tercatat mengalami surplus sebesar US$5,5 miliar. Faisal memperkirakan surplus kumulatif berpotensi menyempit seiring kembali aktifnya kegiatan industri di dalam negeri dengan adanya kenormalan baru.