Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor Pananganan Covid-19 Dikuasai Swasta, Hati-Hati Komersialisasi!

Namun, alih-alih memenuhi kebutuhan untuk masyarakat yang sedang tertimpa pandemi Covid - 19, dibukanya keran importasi barang tersebut justru didominasi oleh sektor swasta dan perorangan. Akibatnya akses masyarakat ke peralatan tersebut sangat terbatas.
Ilustrasi alat pelindung diri (APD) penanganan Covid-19./Dok. Istimewa
Ilustrasi alat pelindung diri (APD) penanganan Covid-19./Dok. Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Kelangkaan alat penanganan 'bencana kemanusiaan' Covid-19 memaksa pemerintah untuk membuka lebar keran impor.

Namun, alih-alih memenuhi kebutuhan untuk masyarakat yang sedang tertimpa pandemi Covid-19, importasi barang tersebut justru didominasi oleh sektor swasta dan perorangan. Akibatnya akses masyarakat ke peralatan tersebut sangat terbatas.

Menariknya, perusahaan atau lembaga yang mengimpor alat penanganan Covid-19 tak semuanya berkaitan langsung dengan dunia kesehatan.

Data devisa impor yang tercatat di Lembaga National Single Window (LNSW) menunjukkan jumlah devisa impor barang penanganan Covid-19 hingga periode 20 Juli 2020 mencapai US$407,5 juta atau sekitar Rp6,1 triliun (kurs 15.000 per dolar).

Porsi swasta dalam importasi barang tersebut mencapai 68,72%. Sementara, pemerintah pusat dan daerah sebanyak 19,73% dan sisanya yakni 11,5% dikuasai oleh yayasan atau lembaga non-profit. Artinya di luar pemerintah, 80,4% atau sekitar Rp4,1 triliun devisa impor alat penanganan Covid-19 berasal dari sektor swasta.

Sekadar catatan, dari 10 besar entitas importir, 9 di antaranya merupakan yayasan dan perusahaan swasta. Satu-satunya lembaga pemerintah yang masuk dalam Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Penelusuran Bisnis dari dokumen impor menunjukkan impor alat penanganan Covid-19 ini dikuasai oleh lembaga keagamaan seperti Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, PT Mastindo Mulia yang memiliki afiliasi dengan Barito Pacific Group kelompok usaha milik konglomerat Pratogo Pangestu, PT Pan Brothers Tbk. hingga perusahaan layanan keamanan PT Budimanmaju Megah.

Selain itu ada juga nama-nama perusahaan lainnya, misalnya, PT Permana Putra Mandiri dan Standar Biosensor Indonesia. Dari laman resmi kedua entitas ini, keduanya merupakan perusahaan yang fokus menjalankan bisnis alat medis. 

Sementara itu, dilihat dari jenis barang, impor alat polymerase chain reaction atau PCR mendominasi dengan total devisa impor senilai US$95,8 juta atau Rp1,4 triliun. Adapun APD dan masker, masing-masing senilai US$81,05 juta dan US$56,3 juta atau jika keduanya dirupiahkan total devisa impor untuk APD & masker berada di kisaran Rp2,06 triliun.

Usut punya usut, dominasi swasta dalam importasi alat Covid-19 bermula dari kelangkaan alat penanganan Covid -19 pada Maret 2020 lalu. Saat itu, alat pelindung diri (APD) yang tersedia hanya 300.000 unit.

Pemerintah kemudian berinisiatif untuk mempermudah impor sekaligus memberikan fasilitas fiskal atas importasi APD dan barang penanganan Covid-19 lainnya seperti test kit dan peralatan medis. Mekanismenya dengan menyusun Standard Operational Procedure (SOP) antara BNPB & Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).

Kebijakan yang mulai berlaku tanggal 20 Maret 2020 memberikan iming-iming pembebasan bea masuk maupun pajak impor untuk importir, instansi pemerintah atau Badan Layanan Umum (BLU), dan yayasan atau lembaga nonprofit (sosial keagamaan).

Selain fasilitas fiskal, kemudahan bagi importir ini juga diberikan dalam bentuk pelayanan. Importir cukup memperoleh rekomendasi dari BNPB untuk melakukan impor dan mendapatkan fasilitas fiskal.

Terhitung sejak berlakunya SOP itu yang diikuti oleh terbitnya kebijakan relaksasi fiskal misalnya melalui PMK No.34/2020, tren devisa impor alat penanganan Covid-19 melonjak cukup signifikan. Pada 29 Maret 2020, misalnya, devisa impor yang tercatat tercatat senilai US$298.622, angka ini melonjak menjadi US$53,2 juta pada 10 Mei 2020.

Kenaikan devisa impor ini bisa diartikan bahwa aktivitas importasi alat penanganan Covid-19 mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan peningkatan pembebasan bea masuk dan pajak impor yang sampai 20 Juli 2020 lalu masing-masing mencapai Rp553,7 miliar & Rp892,1 miliar.

Kepala Sub Direktorat Komunikasi & Publikasi DJBC Kemenkeu Deni Surjantoro mengungkapkan bahwa kebijakan itu harus dimaknai dari kegentingan yang terjadi pada awal-awal pandemi. Kelangkaan APD termasuk test kit mau tak mau mengharuskan pemerintah untuk berbuat cepat.

Oleh karena itu, pada April 2020 muncul kebijakan pelonggaran dari sisi pelayanan yang ditambah dengan pemberian fasilitas fiskal. "Kami hanya melaksanakan kebijakan dan mempermudah pelayanan. Tentunya ini berlaku bagi importir yang telah mendapatkan rekomendasi dari BNPB," ujar Deni kepada Bisnis, Minggu (26/7/2020).

Sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.7/2020 kewenangan percepatan penanganan Covid-19 dikendalikan oleh Gugus Tugas Penanganan Covid-19 yang dikomandoi oleh Kepala BNPB.

Deni juga menuturkan bahwa importasi yang terkait dengan pandemi Covid-19 dikoordinir oleh BNPB. "Yang jelas kami tidak melihat perusahaannya, ini dilakukan dalam konteks penanganan Covid-19," jelasnya.

Harus diakui, tak semua importasi terutama yang dilakukan oleh yayasan keagamaan terkait dengan kegiatan komersial. Importasi yang dilakukan oleh Buddha Tzu Chi, misalnya, lebih ditujukan untuk kegiatan kemanusiaan.

Sebagai contoh, Maret 2020 lalu misalnya, organisasi ini mengklaim akan mengumpulkan dana sebesar Rp500 miliar untuk membantu penanganan Covid-19.

Tetapi masuknya nama perusahaan-perusahaan swasta penyedia alat kesehatan atau non-farmasi yang menguasai importasi alat penanganan Covid-19 patut diduga ikut mendorong komersialisasi alat penanganan Covid-19.

Padahal, di tengah kondisi ekonomi yang sedang terpuruk yang berimplikasi pada menurunnya daya beli masyarakat, seharusnya negara hadir untuk memperluas akses masyarakat terhadap peralatan Covid-19. Toh itu juga amanat undang-undang dasar.

Apalagi alokasi dana kesehatan untuk penanganan Covid-19 yang niainya Rp87-an triliun baru terserap 5,12%. Segera direalisasikan. Jangan sampai ada kesan, buat pengusaha jor-joran, buat rakyat itung-itungan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Ropesta Sitorus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper