Bisnis.com, JAKARTA-Ketiadaan regulasi yang mengatur standar impor atas pakaian pelindung medis selama relaksasi impor pada Maret-Juni 2020 disebut sebagai biang keladi banjirnya produk tersebut.
Hal itu pun menyebabkan beredarnya pakaian pelindung medis dan masker yang tak sesuai syarat edar Kementerian Kesehatan.
Hal ini dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta usai mengetahui bahwa total devisa impor dari pengadaan peralatan penanganan Covid-19 mencapai US$407,5 juta sampai 20 Juli 2020.
Dari total nilai tersebut, importasi oleh pihak swasta tercatat mengambil porsi sampai 68,72 persen, sementara pemerintah pusat dan daerah hanya sebesar 19,73 persen.
Menurut Redma, fasilitas impor untuk pengadaan produk penanganan Covid-19 seharusnya hanya diberikan kepada pihak-pihak yang memiliki izin edar. Dengan demikian, pemasukan produk dapat lebih terkontrol dari segi kuantitas maupun kualitas.
“Sebenarnya kalau kegiatan impor mengacu pada standar saja sudah bisa terbendung [impornya]. Persoalan kemarin importasi dibuka, tetapi aktivitas impornya jadi sembarangan, siapa saja bisa impor. Mereka tidak diberi syarat punya izin edar seperti aturan Kemenkes. Seharusnya yang punya izin saja yang boleh impor, sehingga barang yang diimpor kualitasnya jelas,” kata Redma, Minggu (26/7/2020).
Baca Juga
Sebagai upaya percepatan pelayanan impor barang untuk penanggulangan Covid-19, pemerintah memang memberikan sejumlah fasilitas impor yang mencakup pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN) dan/atau pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), PPh Pasal 22 Impor, dan pengecualian dari tata niaga impor.
Fasilitas ini diberikan kepada pemerintah pusat, daerah, dan badan layanan umum serta kepada yayasan nirlaba dan pihak swasta atau perseorangan selama importasi tak dilakukan untuk tujuan komersial.
Akibat dari ketiadaan kontrol standar pada produk impor tersebut, pakaian pelindung medis dengan kualitas rendah pun tak jarang ditemui. Di sisi lain, kehadiran produk impor dengan harga jauh lebih murah ini pun mengakibatkan serapan pakaian medis produksi di dalam negeri menjadi tak optimal.
“Kemarin relaksasi, tapi tidak disertai dengan syarat standar. Jadi banyak kualitas rendah, misal spunbond tapi gramasinya 60. Kalau produk lokal sudah clear, kalau level 1 dan 2 sudah lolos standar WHO, apalagi 3 dan 4,” papar Redma.
Ketiadaan pengawasan pada standar importir ini pun membuka peluang terjadinya transaksi produk penanganan Covid-19 yang tak sesuai aturan. Sebagaimana diketahui, produk-produk yang menikmati fasilitas importasi tidak diperkenankan diperjualbelikan secara umum.
“Misal pihak kelompok tertentu ingin melakukan donasi, tetapi mereka memperolehnya tetap dengan membeli dari importir yang dapat fasilitas, seharusnya kan tidak boleh. Jadi ada juga yang beredar dengan izin gelap,” lanjutnya.
Efek dari relaksasi impor tanpa pengawasan standar ini pun masih dirasakan oleh pelaku industri tekstil sampai saat ini. Menurut Redma, utilitas pabrik bahan baku cenderung tetap kecil karena permintaan pakaian medis cenderung melambat.
Hal ini terjadi lantaran masih menumpuknya stok impor dan produksi lokal yang belum terserap.
“Jadi harapan produsen saat ini kalau tidak ekspor ya langsung dijual ke pihak rumah sakit, door to door,” kata dia.