Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

CORE Indonesia: Kontraksi Ekonomi Global 2020 Terdalam Sejak Perang Dunia II

Kontraksi yang cukup dalam ini dipicu oleh angka kasus Covid-19 yang masih tinggi.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal memberikan paparan dalam CORE Economic Outlook 2019 bertajuk Memperkuat Ekonomi di tengah Tekanan Global, di Jakarta, Rabu (21/11/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal memberikan paparan dalam CORE Economic Outlook 2019 bertajuk Memperkuat Ekonomi di tengah Tekanan Global, di Jakarta, Rabu (21/11/2018)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Ketidakpastian proses pemulihan ekonomi global masih yang relatif tinggi sejalan dengan kasus baru Covid-19 yang terus meningkat berpotensi mengerek ekonomi global turun lebih dalam.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan ancaman resesi tidak hanya mengancam negara-negara maju, tetapi juga negara-negara berkembang.

Bahkan, beberapa beberapa lembaga internasional beberapa kali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Terakhir pada Juni 2020, IMF dan World Bank memproyeksikan ekonomi global akan kontraksi sebesar masing-masing -4,9 persen dan -5,2 persen, sementara OECD memproyeksi lebih dalam yaitu -6 persen.

Mengacu pada proyeksi tersebut, Faisal mengatakan penurunan ekonomi global tahun ini merupakan kontraksi yang terdalam sejak Perang Dunia II.

"Ini bisa dimengerti karena kasus Covid-19 di dunia masih terus meningkat. Proses pemulihan ke depan juga berbeda di setiap negara, sehingga ketidakpastiannya masih sangat tinggi," katanya dalam acara CORE Midyear Review 2020 secara virtual, Selasa (21/7/2020).

Faisal menyampaikan, saat ini negara yang sudah mulai kembali pulih adalah China. Namun, menurutnya pemulihan global baru akan terjadi jika pandemi Covid-19 tertangani secara meluas, tidak hanya di beberapa negara.

Di samping itu, menurutnya beberapa isu geopolitik internasional, seperti perang dagang antara AS dan China, serta perubahan status hukum Hong Kong, ikut menekan pertumbuhan ekonomi global tahun ini.

Lesunya pertumbuhan ekonomi tahun ini tercermin dari perdagangan global yang tumbuh negatif, gejolak sektor keuangan yang meningkat, dan harga komoditas yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu.

Berdasarkan skenario optimis WTO, perdagangan global mengalami pertumbuhan -12,9 persen, sementara untuk skenario pesimisnya mencapai -31,9 persen.

Meski demikian, kegiatan ekonomi di beberapa negara yang sudah mulai pulih, misalnya China dan beberapa negara di Eropa, menimbulkan optimisme global, tercermin dari Purchasing Manager Index (PMI) di negara-negara tersebut rebound tipis pada akhir kuartal II/2020.

Harga komoditas, yang menjadi salah satu leading indicators pertumbuhan ekonomi juga mulai mengalami rebound, setelah sempat mengalami penurunan tajam pada kuartal kedua tahun ini meski angkanya masih berada di bawah level tahun lalu.

"Misalnya pada Juni, indeks harga energi, yang terdiri dari minyak mentah, gas, dan batu bara, telah naik 65 persen dibandingkan bulan penurunan terdalamnya pada bulan April. Tren kenaikan ini diperkirakan akan berlanjut," jelas Faisal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper