Bisnis.com, JAKARTA- Produk impor berpotensi membanjiri pasar Indonesia seiring berjalannya upaya pemulihan ekonomi di berbagai negara.
Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan diri dalam karena ancaman tersebut bisa disusupi oleh praktik perdagangan yang tidak adil.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengemukakan praktik unfair trade rentan terjadi karena banyak negara yang tertekan secara ekonomi.
Upaya untuk terus menggerakkan perekonomian pun dilakukan berbagai cara, termasuk pemberian stimulis fiskal, guyuran dana dengan bunga rendah bagi dunia usaha, subsidi gaji, dan dukungan moneter untuk stabilisasi mata uang.
“Dukungan tersebut rentan terkonversi menjadi subsidi agar pelaku usaha dapat terus ekspor atau terus berproduksi,” kata Shinta saat dihubungi, Minggu (19/7/2020).
Permintaan pasar global yang menyusut pun tak jarang memaksa para produsen memilih opsi jual rugi. Shinta menyebutkan produsen asal negara lain bisa saja melakukan dumping untuk menjaga eksistensi dan skala ekonomi produksi masing-masing sehingga tingkat kerugian bisa lebih kecil.
Baca Juga
Praktik ini sendiri dinilai Shinta tidak dapat dibiarkan karena bisa merusak daya saing pelaku usaha nasional. Dia menyebutkan produk dalam negeri dapat terdesak oleh produk impor dalam persaingan yang tak imbang sehingga kian sulit untuk bertahan dalam kondisi perekonomian saat ini.
Terlepas dari ancaman ini, Shinta menyayangkan kondisi trade intelligence yang belum optimal terutama dalam melindungi pasar dalam negeri dari praktik dumping atau subsidi oleh negara lain. Indonesia cenderung terbiasa melakukan tindak pengamanan (safeguard) tanpa menyelidiki masalah utama dalam persaingan dagang.
“Jadi, dumping atau subsidi yang menyertai produk impor yang masuk ke Indonesia kerap tidak tidak terdeteksi dan dibiarkan terus merugikan daya saing pelaku usaha nasional,” tuturnya.
Di sisi lain, Shinta pun menyoroti belum optimalnya langkah pelaku usaha nasional dalam mempertahankan diri dari persaingan yang tidak sehat. Peningkatan daya saing pun belum digencarkan sehinggan hampir seluruh desakan produk impor disikapi dengan kebijakan yang cenderung pasif yakni pengamanan dagang (safeguard).
“Dengan minimnya trade intelligence perdagangan, pelaku usaha juga tidak akan pernah tahu bagaimana harus meningkatkan daya saingnya dalam perdagangan secara sehat agar tidak terus menerus terdesak impor,” lanjut Shinta.
Langkah Indonesia yang lebih mengedepankan kebijakan pengamanan dagang ini pun kontras dengan sejumlah tuduhan anti-dumping yang dilancarkan sejumlah negara kepada Indonesia.
Oleh karena itu, Shinta berharap ada upaya lebih konkrit dalam meningkatkan kemampuan trade intelligence, terutama dalam hal data dan informasi perdagangan di dalam maupun luar negeri.
“Hal ini diperlukan agar Indonesia melihat supplier global mana saja yang sudah ditemukan melakukan praktik persaingan dagang yang tidak sehat dan apakah supplier tersebut melakukan hal yang sama di Indonesia,” kata dia.
Di sisi lain, Shinta pun berharap pemerintah dapat berkomunikasi lebih intens dengan pelaku usaha nasional terkait masalah-masalah persaingan dagang.
Dengan demikian, langkah pencegahan melalui trade remedies atau mekanisme lain, seperti penerapan standar pasar dapat diterapkan untuk melindungi pasar dalam negeri dari produk impor yang bersifat merusak daya saing.