Wacana pembubaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendadak bergema luas. Entah siapa yang menghembuskan pertama kali tetapi dalam dua minggu terakhir petikan berita tentang usulan pembubaran OJK marak di media. Pro dan kontra otomatis mengemuka.
Di satu sisi, para pejabat pemerintah seperti biasa menahan diri, tidak berkomentar banyak meski nampak menyetujui. Adapun para politisi DPR yang pada awalnya tidak secara terang benderang mengambil posisi, kian menunjukkan arah pilihannya, mendukung pembubaran OJK. Di tengah perjuangan memerangi wabah Covid-19, OJK ditinggalkan kawan seperjuangan. Lebih buruk lagi, OJK seperti ditusuk dari belakang.
Sejauh ini yang nampak menentang wacana pembubaran OJK adalah para akademisi, pengamat dan analis ekonomi. Pertimbangannya sederhana. Kita tengah berperang melawan Covid-19 dan kita harus menang agar tidak jatuh ke jurang krisis. Untuk itu kita harus fokus dan kompak memanfaatkan semua sumber daya. Wacana pembubaran OJK hanya akan menguras energi dan memunculkan kegaduhan yang tidak produktif.
Bung Karno pernah mengatakan jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah. Pesan Bung Karno tetap relevan dalam konteks OJK. Kita jangan lupa proses panjang dan berliku pembentukan OJK. Dulu hampir semua ngotot untuk mengambil otoritas pengawasan perbankan dari Bank Indonesia (BI) dengan alasan kegagalan BI mengawasi perbankan yang berujung terjadinya krisis perbankan pada 1998—1999.
Lalu dengan gagasan besar mengintegrasikan pengawasan terhadap sektor perbankan, industri keuangan nonbank dan pasar modal, pada November 2011 pemerintah dan DPR sepakat mengeluarkan UU No. 21/2011 yang kemudian menjadi landasan pembentukan OJK.
Hanya berapa tahun berselang, mereka yang dulu bersama-sama melahirkan OJK kemudian ingin membubarkannya dengan menggunakan alasan serupa yang dulu ditudingkan kepada BI. Kegagalan pengawasan industri keuangan. Jiwasraya menjadi satu contoh kasus. Namun apakah benar OJK gagal melakukan pengaturan dan pengawasan kepada Jiwasraya?
Jiwasraya sesungguhnya tidak tepat dijadikan bukti kegagalan OJK mengawasi industri keuangan. Permasalahan Jiwasraya sudah terjadi jauh sebelum OJK terbentuk. Dalam satu persidangan kasus Jiwasraya, seorang saksi menyatakan bahwa perusahaan ini sudah mengalami insolvensi atau tidak mampu membayar kewajiban kepada pemegang polis sejak 2008 dan ditutup-tutupi agar perusahaan itu bisa terus berjalan.
Kesaksian ini diperkuat oleh media berita online yang menuliskan bahwa permasalahan keuangan Jiwasraya sudah terjadi pada 2004.
Kala itu insolvensi mencapai Rp2,76 triliun. Tahun-tahun berikutnya, kondisi makin parah. Bahkan pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban.
Opini disclaimer dari BPK untuk laporan keuangan Jiwasraya 2006 dan 2007 kian mengkonfirmasi adanya permasalahan. BPK menyatakan penyajian informasi cadangan Jiwasraya tidak dapat diyakini kebenarannya.
Muncul pertanyaan sangat besar, kenapa pada saat Jiwasraya sudah mengalami insolvensi atau defisit sangat besar, otoritas pengawas asuransi saat itu Bapepam LK dan juga pemerintah sebagai pemilik Jiwasraya seakan tutup mata dan tetap membiarkannya beroperasi dengan berbagai rekayasa keuangan.
Pada 2011, Bapepam LK justru memberikan izin bagi Jiwasraya me-make-up laporan keuangannya dengan melakukan skema re-asuransi, sehingga perusahaan mencatatkan surplus sebesar Rp1,3 triliun di akhir 2011. Kemudian pada 2012, Bapepam-LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan (18 Desember 2012, produk bancassurance dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY). Produk JS Plan inilah yang kemudian mencuat dan memicu kegaduhan publik, karena gagal dibayar oleh Jiwasraya pada Oktober 2018.
Momen peralihan pengawasan dari Bapepam LK kepada OJK pada 2013 menjadi momen krusial. Ada dugaan bahwa fakta buruknya kondisi keuangan Jiwasraya tidak diungkap oleh pengawas perseroan yang lama (Bapepam LK) kepada pengawas yang baru (OJK), karena yang disampaikan dalam serah terima hanya laporan keuangan yang sudah melalui proses rekayasa melalui re-asuransi dan penjualan JS Plan.
Sementara setelah serah terima tersebut pengawas OJK yang baru terkendala oleh berbagai kesibukan penyediaan infrastruktur, termasuk menyusun tata kerja pengawasan yang baru.
Di tengah keterbatasan tersebut, pengawas OJK sempat meminta Jiwasraya memperbaiki produk JS Plan yang tidak sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasinya. Bahkan pada 2017, OJK memberikan sanksi peringatan pertama karena perseroan terlambat menyampaikan laporan aktuaris tahun 2017. Pada 2018 kasus Jiwasraya kemudian meledak.
Kasus ini adalah skandal besar yang melibatkan banyak pihak, sehingga bisa menyembunyikan borok parah perusahaan milik negara itu dan tetap beroperasi, bahkan menjual produk ‘cantik’ yang membius para investor bankansurance hingga triliunan rupiah. Direktur Utama dan Diretur Keuangan Jiwasraya yang sudah menjadi tersangka mungkin hanya aktor-aktor film drama panjang ini.
Namun, otoritas pengawas lama yang membiarkannya sejak 2004 bahkan memberikan izin Jiwasraya merekayasa keuangannya adalah sutradara dan produser utama film ini yang juga harus diungkap ke publik.
Meski merupakan skandal besar, kasus Jiwasraya bukan bukti kegagalan OJK. Demikian juga dengan kasus-kasus lainnya yang merupakan warisan kegagalan otoritas lama. Kita jangan meninggalkan OJK ketika dia justru menjadi harapan untuk memperbaiki semua kesalahan masa lalu.