Bisnis.com, JAKARTA - Setelah 2 bulan berturut-turut mencatatkan penurunan akibat pandemi Covid-19, kinerja ekspor Indonesia pada Juni 2020 mulai rebound.
Apakah hasil positif ini akan berlanjut pada bulan-bulan berikutnya?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Rabu (15/7), kinerja ekspor secara bulanan pada Juni mencatatkan kenaikan sebesar 15,09% menjadi US$12,03 miliar.
Kenaikan ini sekaligus membuat neraca perdagangan Juni mencetak surplus sebesar US$1,27 miliar.
Namun, tren ekspor dan impor sepanjang Januari— Juni 2020, sesungguhnya masih sulit meramalkan apakah momentum yang telah diperoleh tersebut dapat bertahan hingga akhir tahun.
Realisasi ekspor dan impor secara bulanan pada semester I/2020, terutama untuk sektor nonmigas. Pergerakannya masih fluktuatif.
Baca Juga
Pada Februari - Maret, ekspor nonmigas naik, tetapi pada April dan Mei berbalik turun akibat pandemi Covid-19.
Kendati demikian, sejumlah ekonom yakin bahwa impor masih akan melambat hingga akhir tahun seiring dengan pemulihan permintaan dari dalam negeri. Kondisi ini akan membantu prospek posisi defisit transaksi berjalan (current account deficit).
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memprediksi impor akan tetap berjalan lambat dibandingkan ekspor, dikarenakan penghentian kegiatan investasi dan produksi di tengah pandemi Covid-19.
"[Perlambatan impor] ini dapat memperkecil CAD. Kami perkirakan CAD 2020 sebesar -1,81% dari PDB," katanya. Hal serupa diungkapkan oleh Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Wisnu Wardhana. Dia melihat peluang perbaikan CAD cukup besar tahun ini. Defisit transaksi berjalan pada kuartal II/2020 akan berkisar 1,5 persen dari PDB.
"Ini relatif rendah jika dibandingkan dengan angka sebelum Covid-19," ujarnya.
Meski hal ini merupakan kabar baik, pengusaha Tanah Air justru cemas melihat impor yang lemah. Pasalnya, impor lemah dapat mengindikasikan adanya perlambatan kegiatan manufaktur di dalam negeri.
Seperti diketahui peran golongan bahan baku atau penolong dalam struktur impor Indonesia cukup besar, yakni 70,39 persen per Juni 2020.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pebisnis tidak dapat ‘campur tangan’ terhadap kondisi permintaan pasar.
“Melainkan mengandalkan suplai sebagai kunci utama dalam menunjang keberlangsungan usaha di masa pandemi,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/7).
Dia juga menggarisbawahi naiknya biaya impor bahan baku secara signifikan selama masa pandemi, terutama sektor farmasi.
Selain itu, ada biaya tambahan untuk memenuhi protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah.
Dalam kaitan itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto menilai pemerintah telah mengeluarkan sejumlah insentif fiskal dan nonfiskal untuk menangani masalah daya beli dan penyaluran hasil produksi di sektor hulu.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menilai pemerintah mesti mengambil sejumlah langkah guna memperbaiki permintaan pasar, antara lain memaksimalkan penanganan Covid-19, terutama di level tracing dan menyalurkan stimulus tunai kepada masyarakat dan pekerja terdampak Covid-19.
Dalam hal penanganan pandemi, dia menilai Indonesia tidak sama sigapnya dengan pemerintah di beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia yang berhasil mengisolasi penderita Covid-19.
“Ini dari awal kita salah kaprah. Akhirnya, kita berada di posisi yang sulit untuk mengendalikan situasi untuk saat ini.”