Bisnis.com, JAKARTA - Realisasi APBN semester I/2020 mengalami defisit sebesar 1,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam keterangan resminya pada Jumat (10/7/2020), mengatakan defisit APBN yang mencapai 1,57 persen PDB ini sejalan dengan turunnya pendapatan akibat perlambatan ekonomi.
Kementerian Keuangan pun merevisi target pendapatan negara tahun 2020 sebagai dampak perlambatan ekonomi yang ikut memengaruhi asumsi makro, serta pemberian insentif dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
"Penyesuaian target dilakukan melalui revisi Perpres 54/2020 kemudian di Perpres 72/2020," kata Sri Mulyani dalam pernyataan resminya.
Adapun, pada dokumen APBN 2020, pajak diperkirakan sebesar Rp1.642,6 triliun. Namun di Perpres 54/2020 direvisi menjadi Rp1.254,1 triliun, dan kemudian menjadi Rp1.198,8 triliun pada Perpres 72/2020.
Sementara itu, kepabeanan dan cukai, pada dokumen APBN 2020 sebesar Rp223,1 triliun, kemudian masing-masing pada Perpres 54/2020 dan Perpres 72/2020 berubah menjadi Rp208,5 triliun dan Rp205,7 triliun.
Baca Juga
"PNBP juga mengalami perubahan yaitu secara berurutan dari Rp367,0 triliun menjadi Rp297,8 triliun, kemudian Rp294,1 triliun," katanya.
Di samping itu, anggaran belanja juga mengalami perubahan dari APBN 2020 sebesar Rp2.540,4 triliun, menjadi Rp2.613,8 triliun pada Perpres 54/2020, kemudian naik menjadi Rp2.739,2 triliun pada Perpres 72/2020.
Sri Mulyani menjelaskan, tambahan belanja diarahkan untuk penanganan dampak Covid-19 yaitu di bidang kesehatan, melindungi masyarakat terdampak, serta pemulihan ekonomi.
Dia mengutarakan, beberapa anggaran belanja yang mengalami pertumbuhan pada semester I/2020 antara lain adalah realisasi belanja modal yang tumbuh sebesar 8,7 persen, yang didukung percepatan pelaksanaan kegiatan di awal tahun.
Untuk mendukung program PEN, program padat karya telah dilaksanakan di beberapa Kementerian/Lembaga (K/L).
Selain itu, realisasi belanja bansos tumbuh sebesar 41,0 persen untuk mendukung kebijakan jaring pengaman sosial dalam rangka penanganan pandemi Covid-19.
Sri Mulyani juga menjelaskan, dalam menangani Covid-19, hampir semua negara memberikan stimulus dengan skema extraordinary dan dengan ukuran yang luar biasa.
Kebijakan stimulus APBN pun berdampak pada penambahan defisit menjadi 6,34 persen dari PDB. Pelebaran defisit ini disebutkan merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan countercyclical di mana ketika ekonomi melemah, Pemerintah perlu ikut masuk untuk memberikan stimulus bagi perbaikan ekonomi.
Dalam rangka penanganan pandemi Covid-19, untuk mendukung pembiayaan APBN, kebijakan yang dilakukan pemerintah bersama BI adalah BI dapat membeli SBN di pasar perdana, sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2020.