Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2020 diperkirakan akan terperosok ke zona negatif.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI terkait dengan penyampaian laporan semester I dan prognosis semester II Pelaksanaan APBN 2020, Kamis (9/7/2020).
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II/2020 akan mengalami kontraksi yang berkisar -3,5 persen hingga -5,1 persen, dengan titik tengah -3,8 persen.
Sri Mulyani menuturkan kontraksi ini dipicu oleh pembatasan sosial berskala besar yang masif di tingkat daerah.
"Tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berlanjut dan semakin dalam pada triwulan II terutama dengan adanya pembatasan sosial di tingkat daerah yang masif untuk mengendalikan penyebaran Covid-19," papar Sri Mulyani, Kamis (9/7/2020).
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional untuk semester I/2020 akan berada di kisaran minus 1,1 persen hingga minus 0,4 persen.
Baca Juga
Seiring dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi ini, serapan anggaran pemerintah ternyata masih jauh di bawah target sepanjang paruh pertama tahun ini semakin memperberat upaya pemulihan ekonomi nasional.
Sampai dengan akhir semester I/2020, Kementerian Keuangan mencatat realisasi belanja masih rendah. Dari total anggaran belanja sesuai Peraturan Presiden No. 72/2020 senilai Rp2.739,2 triliun, yang terealisasi hanya Rp1.068,9 triliun atau 39 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan realisasi serapan belanja pada semester I/2020, khususnya oleh pemerintah pusat, banyak dipengaruhi kebijakan refocusing dan realokasi anggaran yang dipersiapkan untuk mengantisipasi dampak negatif akibat pandemi Covid-19.
Alhasil, belanja-belanja yang tidak terkait dengan penanganan Covid-19 mengalami penurunan.
“Kebijakan APBN disesuaikan untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19 pada 2020 dalam mendukung upaya recovery, stabilisasi sosial-ekonomi, sektor keuangan, dan perekonomian secara keseluruhan,” katanya, Kamis (9/7/2020).
Untuk program PEN yang terkait biaya penanganan Covid-19, penyerapan anggarannya masih kurang.
Pada pos perlindungan sosial yang mendapat pagu terbesar senilai Rp203,9 triliun, misalnya, realisasinya baru mencapai Rp72,5 triliun atau 35,6 persen pada semester I/2020. Bahkan, untuk kesehatan, dari anggaran senilai Rp87,55 triliun, realisasinya baru Rp4,48 triliun.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang (Kadin) Indonesia Johnny Darmawan menilai masalah utama rendahnya penyerapan anggaran ada pada faktor birokrasi dan psikologis.
“Banyak departemen yang terlibat dan koordinasi kurang cepat,” ujarnya.
Terkait dengan faktor psikologis, dia menilai pihak otoritas cenderung lebih berhati-hati dalam memutuskan suatu kebijakan karena melibatkan dana yang tidak sedikit.
Masalah birokrasi juga disorot ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Dalam hal penyaluran bantuan sosial (bansos), misalnya, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dinilai belum berjalan optimal. Pemerintah pusat mengandalkan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang pada kenyataannya belum diisi lengkap oleh pemda.
“Problem lainnya, data pendukung. Dalam penyaluran bantuan UMKM, misalnya, pemerintah kesulitan karena tidak ada data dan hanya mengandalkan data pengajuan bantuan saja,” tuturnya.
Khawatir Moral Hazard
Kekhawatiran para pejabat dilingkungan kementerian dan lembaga untuk mengeksekusi anggaran di tengah Covid-19 tersebut sebenarnya telah diketahui oleh Presiden Jokowi.
Untuk meredam kekhawatiran itu, Sri Mulyani sebelumnya menuturkan Presiden Jokowi mengundang Jaksa Agung, BPK, Kepolisian hingga KPK untuk hadir dalam setiap rapat. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mengedepankan keterbukaan terkait dengan eksekusi anggaran dan program pemerintah di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang membutuhkan tindakan cepat.
"Karena like it or not, everybody itu khawatir banget nanti," ujarnya.
Meskipun Presiden menjamin, kata Sri Mulyani, kementerian merasa ada aturan yang tetap harus diikuti. Kekhawatiran ini membayangi semua pejabat di kementerian dan membuat mereka takut bertindak.
"Di level ke bawah makin khawatir, kemudian mereka tidak membuat terobosan."
Padahal, ketika krisis, Presiden ingin semua perangkat pemerintah melakukan langkah-langkah luar biasa. Menurutnya, Presiden Jokowi ingin kementerian dan lembaga (K/L) yang terkait untuk merasakan 'sense of crisis'
"Kalau kita khawatir masalah risiko moral hazard terus, ya kita berhenti aja karena kita takut untuk berbuat," tegas Sri Mulyani.