Bisnis.com, JAKARTA - Kereta api (KA) barang disebut kalah bersaing dibandingkan dengan angkutan darat, penyebabnya, pungutan pajak hingga pungutan akses rel yang terlalu mahal.
Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan daya saing kereta barang terkendala antara lain karena terbebani dua komponen pungutan yang besar yakni PPN 10 persen dan track access charge (TAC). TAC merupakan biaya yang harus dibayar perusahaan kereta api kepada pemerintah saat kereta melewati rel yang dilintasi karena merupakan barang milik negara.
"Daya saing kereta barang yang kalah terhadap moda transportasi jalan, mengakibatkan penggunaan moda rel yang hanya berkisar 1,1 persen. Sementara, transportasi jalan mendominasi sekitar 91,3 persen dan moda transportasi laut sekitar 7,6 persen," jelasnya, Kamis (9/7/2020).
Selain mengkaji ulang pengenaan PPN dan TAC, Pemerintah juga perlu mempertimbangkan pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM) kereta barang untuk semua komoditas dan semua wilayah.
Proporsi nilai BBM bersubsidi untuk kereta barang sangat kecil. Dari analisis SCI, BBM kereta barang hanya sekitar 1,02 persen dari kuota BBM bersubsidi sektor transportasi, sehingga biaya subsidinya sangat kecil dibandingkan manfaat yang banyak tersebut.
"Pemerintah juga harus mendorong pengalihan pengangkutan barang ke kereta api dengan regulasi beserta implementasi di lapangan yang kuat," ujarnya.
Baca Juga
Langkah ini bisa disinergikan dengan implementasi program zero ODOL (overdimension overload) yang tengah berjalan. Menurutnya, pemerintah harus mendukung dan mendorong peningkatan daya saing kereta barang karena penggunaan moda ini bersifat multimanfaat.
Pertama, penurunan tingkat kemacetan karena kapasitas pengangkutan kereta yang besar. Kereta barang dapat menarik 30 rangkaian yang masing-masing mengangkut 1 kontainer 40 kaki atau 2 kontainer 20 kaki. Artinya, 1 kereta barang dapat mengalihkan penggunaan 30 truk kontainer 40 kaki atau 60 truk kontainer 20 kaki.
Kedua, penurunan risiko kecelakaan (patah sumbu dan ban pecah) akibat truk overload. Ketiga, penurunan tingkat kerusakan jalan akibat truk overload. Rel mempunyai daya dukung beban yang lebih tinggi daripada jalan.
Keempat, penurunan biaya transportasi dan logistik yang akan mempengaruhi daya saing produk nasional dan kesejahteraan masyarakat. Kelima, peningkatan produktivitas armada dan pengguna jalan lainnya akibat kemacetan yang berkurang. Keenam, penurunan konsumsi bahan bakar dan penurunan tingkat pencemaran udara dengan pengalihan penggunaan truk yang banyak.
"Tingkat pencemaran udara kereta sangat rendah, emisi CO2-nya hanya 0,036 kg per ton-km, sedangkan truk sekitar 1,38-1,40 kg per ton-km yang berarti hampir 40 kali lebih tinggi," jelasnya.
Setijadi merekomendasikan pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing dan pengembangan pengangkutan barang dengan kereta melalui beberapa langkah dan kebijakan.