Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mematangkan rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pembelian tenaga listrik energi baru terbarukan (EBT) oleh PT PLN (Persero).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan bahwa perpres tersebut akan rampung dalam beberapa bulan ke depan.
"Untuk mencapai target [bauran EBT] di 2025, kami sedang menyiapkan Peraturan Presiden yang akan diterbitkan dalam beberapa bulan ke depan," ujarnya dalam IEA Clean Energy Transitions Summit, Kamis (9/7/2020).
Dalam forum tersebut, Arifin menyampaikan bahwa Perpres tersebut akan mengatur skema tarif baru bagi pembangkit listrik EBT yang diyakini akan menarik investor datang ke Indonesia. Selain itu, proses administrasi dalam investasi EBT juga akan disederhanakan.
"Untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan butuh modal yang besar. Oleh karena itu, kami berharap dengan tarif baru bisa menarik investor untuk datang. Kami berharap dapat membuat iklim bisnis dan partnership yang lebih baik dengan investor asing di Indonesia," kata Arifin.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto mengatakan bahwa izin prakarsa penyusunan rancangan Perpres tersebut sudah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.
Baca Juga
"Sekarang sedang dalam proses pembahasan panitia antar Kementerian," ujar Sutijastoto ketika dihubungi Bisnis.com, Kamis (9/7/2020).
Adapun berdasarkan dokumen mengenai rancangan Perpres EBT yang diperoleh oleh Bisnis.com, pemerintah akan menerapkan empat skema harga pembelian listrik EBT, yakni berdasarkan harga feed in tariff, harga penawaran terendah, harga patokan tertinggi, atau harga kesepakatan.
Harga pembelian berdasarkan feed in tariff dilaksanakan tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi selama jangka waktu kontrak, serta berlaku sebagai persetujuan harga dari Menteri. Skema harga ini berlaku untuk pembelian tenaga listrik dari PLTA, PLTS, dan PLTB kapasitas sampai dengan 20 megawatt (MW), serta PLTBm dan PLTBg kapasitas sampai dengan 10 MW.
Harga pembelian berdasarkan harga penawaran terendah dilakukan dengan ketentuan tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi selama jangka waktu kontrak dan perlu persetujuan harga dari Menteri. Skema harga ini berlaku untuk PLTS atau PLTB kapasitas lebih dari 20 MW dan PLTBm atau PLTBg kapasitas lebih dari 10 MW.
Adapun, untuk harga pembelian berdasarkan harga patokan tertinggi dilakukan dengan ketentuan berlaku sebagai harga dasar, berlaku ketentuan eskalasi dalam PJBL atau perjanjian jual beli uap, dan berlaku sebagai persetujuan harga dari Menteri. Skema harga ini untuk pembelian listrik dari PLTP atau pembelian tenaga uap untuk PLTP.
Sedangkan pembelian berdasarkan harga kesepakatan dilakukan melalui negosiasi dan perlu persetujuan harga dari Menteri. Skema ini berlaku diantaranya untuk pembelian listrik dari PLTA kapasitas lebih dari 20 MW, ekspansi PLTS atau PLTB kapasitas lebih dari 20 MW, ekspansi PLTBm atau PLTBg kapasitas lebih dari 10 MW, dan PLT BBN atau PLT Energi Laut.
Harga pembelian berdasarkan harga feed in tariff dan harga kesepakatan dilakukan dengan memperhatikan faktor lokasi (F) yang menjadi faktor pengkali. Faktor F ini dibagi menjadi sembilan kelompok wilayah. Semakin ke wilayah timur Indonesia, faktor pengkalinya semakin besar.
Besaran harga pembelian juga didasarkan pada besaran kapasitas dan masa operasi pembangkit. Harga beli dipatok flat pada awal masa operasi pembangkit, yakni hingga 12-15 tahun pertama. Setelah jangka waktu tersebut hingga masa kontrak selesai, harganya akan turun.