Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah melakukan beberapa riset untuk mendukung penggunaan energi baru terbarukan, salah satunya adalah panel surya yang masih impor.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Doddy Rahadi mengatakan Balai Riset dan Standarisasi Industri (Baristand) Surabaya telah melakukan riset sebagai inovasi agar industri di dalam negeri mampu mensubstitusi komponen pendukung pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
“Energi baru terbarukan merupakan era masa depan untuk keberlanjutan penyediaan energi dan ketenagalistrikan nasional, termasuk yang menjadi kebutuhan sektor industri,” kata Doddy dalam siaran pers, Rabu (8/7/2020).
Dia menjelaskan sebagian besar pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan energi fosil (minyak, batubara, dan gas bumi) yang mencapai 81,3 persen pada 2018. Di sisi lain, Indonesia kaya akan potensi sumber energi baru terbarukan mulai dari panas bumi, matahari dan juga energi hydro.
Menurutnya, salah satu arah kebijakan dan strategi dalam rangka pemenuhan akses, pasokan energi serta tenaga listrik yang merata dan berkelanjutan adalah peningkatan efisiensi pada pemanfaatan energi dan tenaga listrik melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi smart grid.
Hal tersebut sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni pemenuhan kebutuhan energi dengan mengutamakan peningkatan energi baru terbarukan dari porsi bauran energi nasional 8,6 persen pada 2019 naik menuju 23 persen pada 2024.
Baca Juga
Teknologi smart grid pada PLTS, lanjutnya, membutuhkan komunikasi yang efektif antara bagian-bagian yang menjadi aspek penting karena merupakan syarat bagi proses monitoring dan pengendaliannya. Pemanfaatan IoT sebagai teknologi pendukung pada smart grid dapat meningkatkan produktivitas dengan merampingkan proses komunikasi serta mampu meningkatkan keakuratan data dan informasi.
Guna mendorong penyediaan energi dan ketenagalistrikan nasional, lanjut Doddy, pemanfaatan energi surya perlu ditingkatkan mengingat lokasi Indonesia berada di garis khatulistiwa. Apalagi, semakin terbatasnya ketersediaan energi fosil dari waktu ke waktu dan dampak penurunan mutu lingkungan akibat emisi CO2 dan bahan partikulat yang cukup besar.