Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia dan Pemerintah menyepakati dan siap menanggung beban bersama (burden sharing) dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Akibat dari pandemi dan penanganan Pemerintah untuk menangani dampaknya menyebabkan penurunan beberapa pos penerimaan. Di sisi, lain belanja negara mengalami kenaikan sehingga menyebabkan pelebaran defisit APBN.
Desifit APBN tahun ini melonjak yang awalnya Rp307,22 triliun menjadi Rp1.039,22 triliun atau setara dengan 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kebutuhan pembiayaan pemerintah untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 pun melonjak senilai Rp 903,46 triliun, dari yang tadinya Rp741,8 triliun menjadi Rp1.645,3 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers virtual pada Senin (6/7/2020) menyampaikan Pemerintah telah memanfaatkan SAL (saldo anggaran lebih) senilai Rp70,64 triliun untuk mendanai kenaikan dari pembiayaan utang. Demikian juga dari sisi BLU, dana abadi, dan dana pemerintah lainnya, yang senilai Rp100,49 triliun.
Alhasil, Pemerintah dan BI menyepakati mekanisme burden sharing. Sri Mulyani mengatakan mekanisme ini bisa dipertanggungjawabkan dengan baik, dari sisi kebijakan makro, fiskal, moneter, maupun dari sisi mekanisme melalui market dan acceptable secara politik.
Baca Juga
Ada dua komponen dalam burden sharing yang disepakati Pemerintah dan BI, yaitu berdasarkan komponen pembiayaan untuk public goods dan non-public goods.
Pembiayaan public goods, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda, yang total anggarannya mencapai Rp397,65 triliun.
Untuk skema ini, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate.
"BI dan Kemenkeu setuju penerbitan SBN untuk belanja public goods langsung dibeli BI dengan suku bunga sebesar reverse repo rate. Ini akan ditanggung BI seluruhnya. Jadi, beban bunga pemerintah nol, untuk BI sebesar reverse repo rate," kata Sri Mulyani.
Komponen kedua, yaitu pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan korporasi non-UMKM dengan total anggaran sebesar Rp170,3 triliun. Pembiayaan ini akan ditanggung oleh Pemerintah melalui penjualan SBN kepada market dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1 persen.
Sementara, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate.
Adapun, sejalan dengan peningkatan defisit yang akan mulai terlihat pada semester II/2020, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan kesepakatan burden sharing untuk public goods hanya berlaku untuk tahun 2020.
Rencana anggaran untuk public goods sebesar Rp397 triliun merupakan batas maksimum. Penerbitan SBN kemungkinan akan lebih rendah dan tidak mencapai 100 persen. "Bisa lebih rendah, ini tergantung realiasi anggaran," katanya.
Perry mengatakan skema burden sharing ini akan menggerus modal Bank Indonesia. Namun begitu modal, BI menurutnya masih cukup besar untuk menopang defisit APBN.
Sri Mulyani menambahkan, skema burden sharing tersebut pertama kali dilakukan di Indonesia sebagai bentuk kerja sama Kemenkeu dan BI karena kondisi extraordinary akibat pandemi, untuk mempercepat pemulihan ekonomi, dan menjaga stabilitas.
"Kami berdua dari sisi moneter dan fiskal bersama-sama untuk bisa memulihkan perekonomian Indonesia secara berkelanjutan. Sudah tertuang dalam perppu 1/2020, kami berkomitmen menjaga disiplin fiskal, menurunkan defisit bertahap hingga 3 persen pada tahun 2023," jelasnya.