Bisnis.com, JAKARTA — Meski disambut positif, berlakunya Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Australia (IA-CEPA) tak serta-merta dianggap bisa melenggangkan kinerja ekspor Indonesia ke Australia.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D. Sugiarto menilai penurunan tarif masuk ke Australia tak dapat menjamin aktivitas ekspor ke Australia dapat dimulai.
Sebagai bagian dari rantai pasok global, Jongkie mengemukakan ekspor produk otomotif masih dikendalikan oleh kantor pusat masing-masing perusahaan.
“Jika ingin ekspor, kita harus mengimbau prinsipal untuk mulai mengekspor dari Indonesia,” ujar Jongkie kepada Bisnis, Senin (6/7/2020).
Selain itu, dia mengatakan produsen otomotif di dalam negeri harus mulai menjajaki apakah produksi di dalam negeri telah sesuai dengan kebutuhan pasar Australia. Indonesia saat ini tercatat menyuplai pasar luar negeri dengan 18 model dan varian mobil.
Namun dengan pasar Australia yang mayoritas menggunakan sedan, Indonesia justru belum mengekspor model tersebut. Selain otomotif, kayu dan turunannya juga menjadi kelompok produk yang ekspornya dapat terdampak kehadiran IA-CEPA.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengemukakan, berlakunya kesepakatan tersebut dapat mendorong penetrasi ekspor kayu ke Negeri Kanguru.
“Saya kira IA-CEPA bakal menjadi peluang bagus untuk penetrasi pasar produk kayu di tengah menurunnya kinerja ekspor,” kata Purwadi.
Sampai Juni 2020, Purwadi mengemukakan bahwa ekspor kayu dan olahannya ke seluruh dunia mencapai US$5,34 miliar. Capaian tersebut lebih rendah sekitar 5 persen dibandingkan nilai ekspor pada Januari–Juni 2019 yang berjumlah US$5,65 miliar.
“Australia memang tak masuk jajaran lima pasar terbesar Indonesia, tapi peluang pasarnya cukup baik. Tantangannya mungkin terletak pada tuduhan dumping dan subsidi yang pernah ditujukan ke produk kertas Indonesia,” tuturnya.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyebutkan pasar produk kehutanan Indonesia ke Australia masih terbuka luas dengan jumlah pembangunan rumah di Australia yang ditaksir mencapai 300.000 unit per tahun. Meski demikian, dia mengatakan tantangan terletak pada promosi produk yang masih lemah.
“Pihak importir Australia harus membeli produk kehutanan Indonesia dari agen mereka di Singapura dan melalui bank di Singapura. Sekarang kita mengubah strategi ini melalui kerja sama dengan The Australian Wood Importers Federation dan menggunakan Indonesia Timber Exchange, semacam bursa kayu secara daring, sehingga komsumen dan produsen bisa semakin dekat tanpa perantara,” ujarnya.
Tak melulu soal ekspor, impor sejumlah produk asal Australia yang dibebaskan dari tarif masuk pun diyakini bakal makin menggairahkan industri manufaktur. Salah satunya adalah pemberian pembebasan bea masuk pada 575.000 ekor sapi bakalan Australia.
Kedekatan geografis selalu menjadi salah satu dimensi yang membuat pengiriman sapi bakalan ke Indonesia terus berlanjut meski pasar daging di Indonesia telah diisi oleh berbagai pemain.
Valeska, Chief Representative Meat & Livestock Australia (MLA) untuk Indonesia, sebuah badan riset dan pengembangan serta pemasaran yang mewakili industri daging merah dan peternakan sapi Australia, mengatakan, kehadiran IA-CEPA dapat menjadi pemacu dalam pengembangan rantai pasok global industri pengolahan daging.
Di bawah payung Indonesia - Australia Red Meat and Cattle Partnership yang telah dijalin kedua negara, industri pengolahan daging Indonesia diharapkan dan melebarkan sayap ke pasar ekspor dan memiliki daya saing yang kompetitif dengan bahan baku yang lebih bersaing.
“Potensi ekspor diperkirakan dapat menjangkau negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Ekspor ke China dengan harga yang kompetitif pun diharapkan dapat terwujud dengan pendalaman kerja sama,” ujar Valeska.
Populasi sapi di Australia tercatat mencapai 26,2 juta ekor pada 2019 menurut data yang dihimpun oleh MLA. Dari jumlah tersebut, sekitar 13 persen diekspor dalam bentuk sapi bakalan jantan dengan Indonesia sebagai pasar terbesar dengan pengiriman selama periode tahun lalu mencapai 676.000 ekor.
Pandemi
Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, kehadiran IA-CEPA perlu dilihat sebagai pemacu geliat ekonomi jangka panjang alih-alih sebagai instrumen pemulihan di tengah pandemi Covid-19. Menurutnya, kesepakatan ini bakal memberi kontribusi optimal pada masa setelah pandemi tertanggulangi.
Bagaimana pun, akses pasar ke Australia yang terbuka lebar nantinya disebut Yose dapat mengundang investasi dari berbagai negara. Menurutnya, akses ini bakal membuat Indonesia memiliki posisi strategis dalam konteks rantai pasok global.
“Misalnya untuk industri kendaraan bermotor, pasar otomotif yang mencapai 1,4 juta unit di Australia bisa membuat perusahaan multinasional melihat Indonesia sebagai hub produksi. Selama ini impor kendaraan bermotor Australia justru berasal dari produksi yang berasal dari Thailand dan China,” katanya.
Yose pun sepakat dengan peluang masuknya Indonesia ke rantai pasok global pangan olahan dengan bea masuk bahan baku asal Australia yang berkurang. Australia sendiri merupakan salah satu produsen pangan yang sebagian besar serapannya mengarah ke pasar ekspor.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai semua sektor usaha sejatinya bisa menikmati manfaat dibukanya akses pasar Australia lewat IA-CEPA. Meski demikian, tantangan terbesar terletak pada industri dalam negeri dalam memenuhi standar pasar Australia.
“Hal ini akan tergantung apakah sektor atau industrinya mau aktif memenuhi standar pasar Australia dan mau memakai IA-CEPA atau tidak. Oleh karena itu kita harus terus sosialisasikan manfaat perjanjian ini agar sebanyak mungkin pelaku usaha di berbagai sektor aktif mempergunakan,” ujarnya.
Di sisi lain, dia pun memberi catatan perlunya reformasi kebijakan ekonomi nasional agar pelaku usaha dalam negeri dapat lebih efisien, produktif, dan berdaya saing dalam menghadapi persaingan dagang dengan produk Australia.
“Dari sisi Australia pun akan banyak pelaku usaha yang ingin penetrasi pasar Indonesia. Kalu kita tidak memperbaiki iklim usaha nasional, kita bisa kalah saing,” kata Shinta memperingati.
Pada akhirnya, perjanjian kemitraan tak pernah lepas dari kepentingan. Dalam konteks IA-CEPA, Indonesia tak boleh lupa bahwa pihak yang ingin menuai untung bukanlah negara ini saja, namun juga ada Australia.
Jika demikian, misi menjadikan kerja sama ini sebagai katalis pemulihan ekonomi mungkin perlu dibekali dengan amunisi yang lebih kuat. Tak hanya dengan modal optimisme semata, namun diiringi pula dengan upaya penguatan yang nyata.