Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia berada di ambang krisis ekonomi jika rencana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diusulkan Presiden Joko Widodo dan telah disetujui DPR RI, tidak segera dilaksanakan dengan cepat oleh kementerian-lembaga dan pemerintah daerah.
Pernyataan itu disampaikan Deddy Yevri Sitorus, Anggota Komisi VI DPR , Senin (6/7/2020). Dalam pernyataannya, anggota Fraksi PDI Perjuangan mengkritik penyaluran PEN karena sampai saat ini belum jelas kerangka waktunya.
“Semua orang tahu bahwa resesi ekonomi itu terjadi karena rendahnya sisi permintaan (demand). Demand rendah karena uang tunai yang beredar di masyarakat sangat terbatas, saat ini hanya belanja pemerintah yang bisa membantu ketika aktivitas ekonomi setengah lumpuh akibat pandemi,” tegas Deddy dalam keterangan resminya Senin (6/7/2020).
Akan tetapi, lanjut Deddy, dari rencana Pemulihan Ekonomi Nasional yang telah disusun, yang terjadi saat ini malah lambatnya penyerapan anggaran oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
Menurut Deddy, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia harus bersinergi dengan baik untuk mempercepat penyaluran anggaran PEN.
“Ketiga instansi itu adalah ‘bottleneck’ yang bertanggung jawab terhadap lambatnya penyaluran berbagai stimulus yang telah disepakati Pemerintah dan DPR RI,” ujar peraih suara terbanyak pada Pemilu Legislatif 2019 di Kalimantan Utara itu.
Deddy menjelaskan, alokasi anggaran tersebut terbagi atas dua kategori. Yaitu, alokasi untuk sektor kesehatan dalam rangka menghadapi pandemi sebesar Rp87,55 triliun dan Pemulihan Ekonomi Nasional sebesar Rp6 - 7,65 triliun.
Tetapi sejauh ini, kata Deddy, anggaran yang terealisasi masih sangat rendah, misalnya di sektor kesehatan kurang dari 5% yang diserap, sektor perlindungan sosial meski persentase penyerapannya tinggi tetapi baru di angka 34.06%.
Sementara sektor kementerian dan lembaga sangat rendah, yaitu sekitar 4,01%, sektor UMKM meski telah mencapai 22,74% tetapi sebenarnya persentase itu terangkat karena penempatan dana di bank-bank milik negara.
Dalam catatannya, kinerja yang paling buruk adalah stimulus bagi pembiayaan korporasi dan insentif usaha, di mana dari Rp181,8 triliun yang dialokasikan baru terserap 10,14%.
“Saya minta Pak Jokowi segera melakukan langkah-langkah yang tegas dan cepat karena kondisi tidak semakin membaik. Penanganan pandemi dan kondisi ekonomi semakin memburuk akibat langkah-langkah konkret dan break-through tidak kunjung terlaksana,” ujarnya.
Menurutnya harus segera dirumuskan kebijakan yang relevan dan sistematis agar stimulus ekonomi yang telah disiapkan dapat segera diserap dengan baik.
“Segeralah kumpulkan seluruh kepala daerah dan lembaga terkait seperti BPJS, BNPB untuk menyatukan gelombang dan langkah dalam menghadapi pandemi,” tegasnya.
Selain itu, pihaknya menyarankan Presiden Joko Widodo segera mengumpulkan Kementerian terkait pemulihan ekonomi beserta OJK dan Bank Indonesia untuk mengidentifikasi sumbatan regulasi, birokrasi, dan libatkan KPK, BPK serta Kejaksaan Agung untuk merumuskan langkah-langkah konkretnya.
“Ini kondisi darurat, sudah banyak waktu yang terbuang percuma akibat birokrasi dan aspek regulasi yang menghambat. Waktunya sudah semakin pendek dan semakin dekat dengan resesi, tetapkan target dan waktu yang ketat,” tegasnya.
Dia prihatin karena setiap hari semakin banyak pekerja yang dirumahkan, UMKM gulung tikar, ekonomi nyaris lumpuh, dan hanya sekitar 20% yang mampu bertahan.
“Rakyat sudah kehabisan uang, pengusaha sudah sesak napas, sementara para pengambil dan pelaksana kebijakan hanya saling menunggu dan berusaha menyelamatkan diri sendiri,” katanya
“Jika selama bulan Juli ini Presiden gagal mengambil tindakan nyata dan efektif, besar kemungkinan kita akan memasuki jurang resesi yang sulit diukur kedalamannya. Pak Jokowi dikejar waktu, harus tegas dan cepat kalau mau menghindari resesi yang sudah di depan mata,” tutupnya