Bisnis.com, JAKARTA - IHS Markit mencatat Purchasing Manager's Index (PMI) Indonesia pada akhir semester I/2020 naik 10,5 poin indeks ke level 39,1. Adapun, lonjakan tersebut diduga berasal dari kebijakan pelonggaran protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw mengatakan sentimen bisnis meningkat tajam ketika pelonggaran PSBB dilakukan. Pasalnya, pabrikan telah merencanakan untuk meningkatkan produksi pada 2021.
"Data PMI terbaru menunjukkan kelonggaran yang nyata pada penurunan sektor manufaktur Indonesia selama Juni karena negara melonggarkan pembatasan yang dirancang untuk mengendalikan pandemi Covid-19," katanya dalam keterangan resmi, Rabu (1/7/2020).
Seperti diketahui, PMI Indonesia menyentuh titik terendahnya selama 9 tahun terakhir pada awal kuartal II/2020 di sekitar level 26. Adapun, dua bulan terakhir PMI Indonesia menunjukkan perbaikan.
Namun demikian, PMI Indonesia masih di bawah level 50,0 atau terus berkontraksi selama lebih dari tiga bulan. Bernard menyatakan pabrikan terus mengurangi tenaga kerja dan terus mengurangi pembelian bahan baku lantaran lemahnya permintaan.
Selain itu, beban produksi pabrikan saat ini meningkat yang disebabkan oleh kenakan harga bahan baku, langkanya pasokan bahan baku, dan melemahnya nilai tukar. Menurutnya, secara umum pabrikan nasional akan menghadapi keadaan yang menantang.
Baca Juga
"Data survei menunjukkan output produksi dan penjualan masih turun pada tingkat substansial, meskipun tingkat penurunan berkurang sejak April dan Mei," ujarnya.
Terpisah, Ekonom IHS Markit Lewis Cooper mencatat PMI di Asia Tenggara naik 8,2 poin indeks ke level 43,7 dari posisi bulan sebelumnya 35,5. Walau demikian, PMI di beberapa negara telah menembus level 50,0 seperti Vietnam (51,1) dan Malaysia (51,0).
Sementara itu lima negara lainnya yang mengikuti survey PMI masih menujukkan kontraksi, seperti Filipina (49,7), Myanmar (48,7), Thailand (45,3), Indonesia (39,1) dan Singapura (38,8). Menurutnya, kondisi operasional sekotr manufaktur di Asia Tenggara secara keseluruhan terus memburuk pada akhir semester I/2020.
"Kondisi permintaan masih sangat lemah, dan memaksa perusahaan kembali mengurangi jumlah tenaga kerja mereka. Tingkat pelepasan pekerjaan berkurang sedikit, tetapi masih tergolong tajam," ucapnya dalam keterangan tertulis.
Lewis menyatakan PMI di Asia Tenggara masih lebih rendah dari titik terendahnya sebelum pandemi terjadi atau di level 47,6 pada November 2015. Secara umum, kondisi pabrikan di kawsan tidak jauh berbeda dengan kondisi pabrikan di dalam negeri yakni permintaan yang terus melemah, naiknya biaya produksi, dan terus bergulirnya pelepasan tenaga kerja.