Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah hambatan dagang masih menyertai komoditas sawit dan turunannya di negara tujuan ekspor. Pengenaan bea masuk tambahan pun memengaruhi daya saing produk Indonesia.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, ekspor sawit di beberapa pasar masih menjadi sasaran pengenaan antidumping dan antisubsidi. Di Amerika Serikat misalnya, produk biodiesel Indonesia dikenai bea masuk antidumping dan antisubsidi dengan total margin 126,97 – 341,38 persen. Sementara itu, ekspor biodiesel ke Uni Eropa pun dikenai bea masuk antisubsidi dengan rentang 8 – 18 persen.
“Dampak dari kebijakan antidumping dan antisubsidi tersebut telah sangat mempengaruhi daya saing produk biodiesel Indonesia di pasar AS dan Uni Eropa,” ujar Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga dalam keterangan tertulis, Selasa (16/6/2020).
Merespons hal tersebut, Jerry mengatakan Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan banding di Badan Penyelesian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan sampai saat ini masih dalam proses di Pengadilan Perdagangan Internasional AS. Sedangkan kepada Pemerintah Uni Eropa, Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah pembelaan melalui forum dengar pendapat dan penyampaian submisi dengan Uni Eropa.
Data statistik menunjukkan, meski volume impor biodiesel AS dari dunia masih tumbuh 5,6 persen pada 2019, namun impor AS dari Indonesia praktis terhenti total sejak pengenaan antidumping dan antisubsidi pada 2017. Hal yang sama juga terjadi pada ekspor biodiesel asal Indonesia di pasar Eropa. Sejak pengenaan antisubsidi oleh EU pada 2019, volume ekspor biodiesel Indonesia ke Eropa turun sebesar 99,9 persen (YoY) pada Januari–April 2020.
Secara umum, kontribusi ekspor CPO dan produk turunannya mencapai 12,4 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia dengan nilai mencapai US$6,3 miliar pada Januari–April 2020,. Kinerja ekspor di beberapa pasar utama sawit juga cukup bervariasi.
Baca Juga
Kinerja ekspor sawit Indonesia di pasar India masih menunjukkan peningkatan baik secara nilai maupun volume. Volume ekspor sawit ke India meningkat 11,2 persen (YoY) menjadi 1,64 juta ton dan nilainya tumbuh 55,3 persen (YoY) menjadi US$1,09 miliar. Di Pakistan, nilai ekspor sawit juga meningkat cukup besar sebesar 22,3 persen (YoY) menjadi US$ 452,7 juta, meskipun secara volume turun 3,0 persen menjadi 691.500 ton.
Sebaliknya, pasar utama lain seperti China dan Belanda mengalami penurunan. Ekspor sawit ke China secara volume turun 54,3 persen (YoY) menjadi 879.000 ton dan secara nilai turun 48,5 persen (YoY) menjadi US$ 497,4 juta. Begitu pula ekspor sawit ke Belanda yang volumenya turun 27,9 persen (YoY) menjadi 895.400 ton dan nilainya turun 9,3 persen (YoY) menjadi US$348,3 juta.
“Berdasarkan data-data tersebut, pemerintah khususnya Kemendag, melihat kondisi tren perdagangan dan ekspor sawit masih positif dan kondusif dibandingkan negara-negara lain. Kami berharap pelaku usaha, asosiasi, dan pemangku kepentingan lainnya dapat bekerja sama dengan pemerintah dan tidak berpangku tangan dalam mengatasi semua tantangan, khususnya selama pandemi ini,” imbuh Jerry.