Bisnis.com, JAKARTA - Dana subsidi sektor transportasi melalui public service obligation (PSO) mesti dialokasikan ulang untuk menyelamatkan sektor ini.
Pasalnya, selama pandemi, aktivitas transportasi cenderung turun dan berhenti sehingga dana PSO banyak menganggur di rekening pemerintah.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menuturkan saat pandemi covid 19, semua industri transportasi babak belur, termasuk di Amerika Serikat.
Adapun, pemerintah Amerika Serikat mengantisipasi dengan memberikan bantuan atau insentif kepada pelaku industri transportasi sebagai jaring pengaman agar tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan selanjutnya saat kondisi menuju normal, insentif ini bisa digunakan untuk modal operasi.
Hal ini, terangnya, dapat ditiru oleh pemerintah Indonesia dan menyelamatkan sektor transportasinya mulai dari penggunaan subsidi angkutan umum yang dialihkan fungsi dan penggunaannya.
Menurutnya, ke depan, sistem pembelian layanan (buy the service) yang dirintis oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan juga harus memiliki klausul penggunaan dananya untuk membantu pelaku industri. Terutama, lanjutnya, saat terjadi force majeur seperti saat ini.
Baca Juga
"Saat ini dengan Covid 19, Trans Jakarta, KRL Jabodetabek, MRT Jakarta, LRT Jakarta pasti mengalami penurunan penumpang luar biasa dimana otomatis dana buy the service atau PSO tidak terpakai optimal. Dengan begitu, perlu kiranya agar dana buy the service ini juga dapat ditransfer menjadi dana jaring sosial industri transportasi agar tidak ada PHK massal," jelasnya.
Dia mencontohkan Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengalokasikan PSO pada 2020 sebesar Rp2,67 triliun. Untuk KRL Jabodetabek mencapai Rp 1,55 triliun (0,58 persen).
PSO KRL ini merupakan yang terbesar karena yang mempunyai 44 relasi dan dalam Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) 2019 akan melayani 1.057 perjalanan setiap harinya.
Namun, menurutnya, besaran subsidi PSO ini menjadi tidak optimal ketika masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan PSBB transisi berlaku di mana aktivitas perjalan rata-rata hanya 200.000 penumpang dari periode normal yang mencapai 1 juta penumpang.
"Untuk mengurangi beban pemerintah, perlu ada restrukturisasi tarif KRL. Tarif bersubsidi diberikan bagi penumpang penglaju," ujarnya.
Berdasarkan kajian atau studi oleh Ditjen. Perkeretaapian berkenaan dengan rencana perubahan pola tarif KRL Jabodetabek sudah pernah diwacanakan bahwa pada Sabtu, penumpang penglajo sekitar 5 persen dan Minggu hanya 3 persen. Penumpang penglaju adalah penumpang yang bertransportasi untuk tujuan bekerja dan kegiatan ekonomi utama.
"Pengguna KRL di akhir pekan kebanyakan bermobilitas dengan tujuan sosial [wisata, belanja, keperluan keluarga dan lain-lain]. Perlu dikurangi secara bertahap penghilangan subsidi di akhir pekan," ujarnya.
Untuk membantu pengusaha transportasi umum, misalnya dapat dilakukan kerjasama dengan pengusaha/industri untuk mengangkut pegawai. Pengusaha dapat mengalihkan tunjangan transportasi pekerja untuk digunakan sewa bus.
Bus umum dapat beroperasi, pengusaha dapat menghemat biaya transportasi yang diberikan peorangan. Pekerja yang biasanya naik sepeda motor dan memenuhi ruang parkir, sekarang naik bus umum.
Demikian pula dengan Kementerian, Lembaga dan BUMN yang memiliki kendaraan antar jemput pegawainya, dapat menambah jumlah armadanya, agar pegawainya dapat menggunakan transportasi umum.
Ongkos subsidi PSO pun dapat digunakan untuk kepentingan darurat di sektor transportasi yakni menyelamatkan sebanyak mungkin pegawai dari kemungkinan PHK massal akibat pandemi virus corona.