Bisnis.com, JAKARTA - New normal atau kenormalan baru adalah istilah yang populer belakangan ini. Istilah 'new normal' merujuk ke kondisi 'kenormalan' yang berbeda dengan masa prapandemi covid - 19.
Mengacu pada paparan Presiden Joko Widodo, masa new normal ini adalah saat masyarakat mulai 'dipaksa' berdamai dengan virus Corona. Hidup berdampingan bersama Covid-19 diimbangi dengan mengedepankan protokol kesehatan hingga ditemukannya vaksin yang konon baru ada tahun depan.
Motivasi ekonomi menjadi alasan paling utama. Sebab, kebijakan penanganan Corona mulai dari 'lockdown lokal' (tingkat desa) hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) benar-benar telah memukul ekonomi dari dua sisi, supply side dan demand side.
Data-data statisik selama kuartal 1/2020 dan kuartal 2/2020 (belum final) mengonfirmasi kedua hal itu. Data penjualan sampai Mei 2020 lalu menunjukkan tren negatif di hampir semua daerah. Daya beli masyarakat hampir mendekati titik nadir.
Memang ini bukan dalam kondisi normal, semua terpukul karena pandemi. Tetapi tren kinerja suplai dan permintaan yang terus menurun jelas menjadi alarm bagi perekonomian domestik. Para ekonom bahkan kompak bahwa perekonomian kuartal 2/2020 setelah sekian puluh tahun bakal mencapai angka negatif.
Raden Pardede, salah satu Tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tak menampik hal itu. Dia juga memproyeksikan, berdasarkan data-data mutakhir, perekonomian Indonesia pada kuartal II/2020 memang bakal negatif.
Baca Juga
"Kita melihat di Mei itu negatif, Juni juga negatif, intinya kuartal II itu negatif," kata Raden Pardede, Selasa (9/6/2020) lalu.
Dengan tren perekonomian yang menjurus ke angka negatif itu, fase new normal mulai digembar-gemborkan pemerintah. Sembilan sektor perekonomian ditetapkan dibuka. Dibukanya sembilan sektor itu diharapkan bisa mempercepat recovery ekonomi yang babak belur dihajar Corona.
Persoalannya, upaya membuka sembilan sektor ekonomi di tengah tren penularan virus Corona yang sampai sekarang terus menanjak tentu akan mendatangkan dua konsekuensi. Pertama, kalau mitigasi penularan berhasil dilakukan, pembukaan sembilan sektor ini akan menjadi daya ungkit perekonomian.
Kedua, jika kondisinya sebaliknya, kebijakan ini tentu akan menjadi pukulan telak. Bukan hanya semakin memperluas angka infeksi virus, tetapi juga bakal memukul perekonomian. Alhasil, waktu pemulihan ekonomi sudah pasti semakin lama.
"Kalau tidak dibarengi pengendalian wabah Covid, ya dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak akan optimal," ujar Peneliti Ekonomi Senior IKS Eric Alexander Sugandi.
Nah, belum juga new normal berlangsung optimal. Jumlah orang yang terpapar virus Corona terus bertambah. Jika pekan sebelumnya, setiap hari paling banyak ratusan yang terpapar, pekan ini jumlah yang terpapar bisa tembus lebih dari 1.000 per hari.
Hingga Rabu (10/6/ 2020), pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 34.316, sembuh 12.129, dan pasien yang meninggal akibat virus tersebut mencapai 1.959 orang.
Angka ini berpotensi bertambah karena aktivitas masyarakat mulai meningkat pasca ditetapkannya new normal. Orang-orang mulai pergi ke pasar, ke tempat-tempat umum, atau bekerja di kantor.
Sayangnya, peningkatan aktivitas masyarakat ini tak disertai dengan peningkatan kesadaran untuk menerapkan protokol kesehatan. Di banyak tempat, orang masih bebas berkerumun tanpa jaga jarak dan mengenakan masker.
Jika kebiasaan ini terus berlangsung, tentu cita-cita untuk memulihkan ekonomi dan menurunkan kurva penularan bagai panggang jauh dari api alias enggak mateng. Dengan demikian, bisa-bisa new normal bukannya jadi anugerah tetapi justru jadi bencana. Semoga saja tidak demikian.