Bisnis.com, JAKARTA – Permasalahan akut yang mendera PT Perkebunan Nusantara (Persero) memerlukan audit investigasi khusus dari pemerintah sebagai dasar untuk melakukan restrukturisasi di perusahaan tersebut.
Associate Director BUMN Research Group (BRG) LM-Universitas Indonesia Toto Pranoto menyatakan perseroan menghadapi masalah besar pada sebagian besar aset off farm-nya yang sudah menua dan tidak efisien.
“Misal pabrik-pabrik gula itu punya mesin-mesin yang bahkan sudah dipakai dari zaman Belanda, jadi pasti tidak efisien. Perlu investasi besar-besaran di sektor tersebut,” katanya kepada Bisnis, Rabu (10/6/2020).
Dia menyatakan bahwa di sisi lain perseroan juga memiliki utang yang cukup besar, namun tidak dapat dikelola dengan baik untuk menggenjot produktivitas. Hal ini menurutnya mengindikasikan adanya masalah pemilihan investasi on farm dan off farm yang tidak cukup tepat.
“Jadi buat saja audit investigasi untuk membuat clear persoalan tersebut. Hal ini sangat mendasar dan dibutuhkan buat restrukturisasi di PTPN,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pada 2017 pendapatan PTPN mencapai Rp35,12 triliun dan pada 2018 turun menjadi Rp32,84 triliun. Sejalan dengan itu perolehan laba PTPN juga ikut turun dari Rp369 miliar pada 2017 menjadi Rp281 miliar pada 2018.
Baca Juga
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan tengah menyiapkan program restrukturisasi utang besar-besaran di PT Perkebunan Nusantara (Persero) atau PTPN.
Erick bahkan menyatakan bahwa restrukturisasi utang itu akan bisa lebih besar daripada restrukturisasi di PT Krakatau Steel (Persero) yang mencapai US$2 miliar atau setara Rp31 triliun. PTPN, lanjutnya, memiliki utang hingga Rp48 triliun.
“Kita lihat PTPN Holding ini punya utang sekitar Rp48 triliun, ini akan sampaikan lebih detail. Nanti akan ada program restrukturisasi besar seperti di Krakatau Steel,” ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/6/2020).
Dia mengatakan bahwa program restrukturisasi juga sudah dijalankan oleh Kementerian BUMN dengan merombak susunan direksi di PTPN I hingga PTPN XIV. Kementerian hanya menyisakan satu Direktur di PTPN yang bukan tergolong holding.
Selain itu, pemerintah juga akan menggenjot PTPN untuk mendorong produksi komoditas tertentu, khususnya gula. Menurutnya, dengan lahan tebu sekitar 130.000 hektare, PTPN semestinya bisa memproduksi gula untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik yang mencapai sekitar 3,5 juta ton per tahun.
Meski demikian, dia menyatakan bahwa tingkat produksi PTPN tidak akan mampu memenuhi kebutuhan gula untuk konsumsi dan industri. Menurutnya, kebutuhan industri tampaknya akan tetap mengandalkan impor.
“Tidak menutup kemungkinan bisa jadi swasembada gula, memang kebutuhan 3,5 juta itu gula konsumsi, tapi untuk kebutuhan gula industri impor tampaknya akan tetap dijalankan,” ujarnya.
Dia menambahkan pola pengembangan produksi gula tersebut akan melibatkan petani rakyat dengan pola inti plasma. Namun, untuk menjalankan rencana ini PTPN dinilai membutuhkan suntikan dana yang cukup besar.
Oleh karena itu, PTPN masuk ke dalam jajaran BUMN yang akan menerima dukungan pemerintah berupa dana talangan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana yang disiapkan untuk PTPN mencapai Rp4 triliun.
“Untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi ini bisa dilakukan, karena itu memang mau tidak mau PTPN harus mendapat dana talangan, untuk jaga cash flow-nya,” ujarnya.