Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat baru-baru ini memulai investigasi formal terkait dengan pertimbangan beberapa negara terkait dengan rencana pengenaan pajak terhadap perusahaan digitalnya.
Menurut Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristia, salah satu hal yang kerap diperbincangkan dalam pengambilan langkah sepihak atas pengenaan pajak terhadap perusahaan digital AS adalah perihal digital service tax (DST).
Hal tersebut serupa dengan rencana Pajak Transaksi Elektronik (PTE) dlm UU No 2 2020.
"Biasanya DST didesain untuk menyasar perusahaan digital dengan peredaran bruto di atas nilai tertentu. Dengan desain tersebut yang biasanya dikenakan pajak adalah raksasa-raksasa digital dari AS. Inilah yg membuat AS berang seperti halnya kasus Prancis," ujar Bawono kepada Bisnis, Rabu (3/6/2020).
Menurutnya, penerapan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perusahaan digital asing di Indonesia tetap bisa dilakukan. Dengan catatan, jika ada konsensus global, misalnya OECD, maka ketentuan tersebut dapat dicabut atau disesuaikan.
"Investigasi AS juga bisa diminimalisir risikonya dengan desain threshold yang objektif sehingga tidak terkesan menyasar perusahaan AS saja," lanjutnya.
Dihubungi terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan pihak Kemenkeu saat ini tengah menyusun pernyataan resmi terkait dengan rencana investigasi AS tersebut.
Diberitakan sebelumnya, AS melakukan investigasi formal terkait dengan perihal penerapan pajak digital baru di beberapa negara yang dikhawatirkan secara tidak adil hanya menargetkan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Facebook.
Dalam penyelidikan tersebut, pihak AS akan melakukan pemeriksaan atas beberapa skema penerapan pajak di 10 wilayah yurisdiksi, termasuk Indonesia. Selain Indonesia, penyelidikan dilakukan di Austria, Brazil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Turki, Spanyol, dan Inggris.
Melansir BBC.com, Rabu (3/6/2020), penyelidikan dilakukan setelah sejumlah negara mulai mempertimbangkan perihal penerapan pajak untuk layanan daring asa AS yang saat ini dikatakan mengeluarkan biaya terlalu kecil dan dinilai harus membayar pajak sesuai dengan aturan di masing-masing yurisdiksi tempat layanan mencari pundi-pundi.
Pihak AS mengatakan perihal penerapan pajak digital tersebut seharusnya disepakati di forum multilateral melalui Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Namun, diskusi yang berlangsung di forum tersebut berjalan lambat sehingga banyak negara yang justru mengambil tindakan masing-masing.
AS sendiri tahun lalu pernah mengambil tindakan keras sebagai balasan terhadap pengenaan pajak digital 3% untuk setiap transaksi yang berlakukan di Perancis.
Negeri Paman Sam mengancam akan mengenakan tarif setara US$2,4 miliar untuk barang-barang asal Perancis, termasuk keju dan champagne, setelah penyelidikan serupa dilakukan oleh pemerintah Donald Trump.