Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia dianggap melambat sejak 2017.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pertambahan energi terbarukan sejak 2017 mengalami penurunan yang drastis.
"Hasil pemeriksaan BPK mirip dengan berbagai laporan yang kami keluarkan sejak 2018 lalu. Misalnya Indonesia Clean Energy Outlook [ICEO] yang menunjukan pengembangan energi terbarukan terhambat, terutama setelah dikeluarkannya Permen ESDM No. 50/2017," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (4/6/2020).
Menurutnya, Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik juga tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 30/2007 tentang Energi, Peraturan Presiden (PP) No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
"Jadi secara umum evaluasi BPK sangat tepat dan mencerminkan situasi yang terjadi dalam pengembangan energi terbarukan," katanya.
Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II tahun 2019 Badan Pemeriksa Keuangan RI disebutkan program peningkatan kontribusi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional tahun 2017 hingga tahun 2019 dilaksanakan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan instansi terkait lainnya dinilai kurang efektif.
Baca Juga
Dia menilai rekomendasi BPK terkait dengan usulan smber pendanaan energi baru terbarukan beserta kerangka regulasinya kepada Dewan Energi Nasional (DEN) sudah sangat tepat. Selama ini pendanaan energi terbarukan melalui instrumen APBN melalui anggaran Kementerian/Lembaga. Sejak 2018, pendanaan EBT melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dihentikan oleh Kementerian ESDM.
"Ini membuat pengembangan energi terbarukan skala kecil di daerah-daerah terpencil praktis terhenti," tuturnya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan strategi pengembangan energi terbarukan skala kecil, yang tidak layak didanai secara komersial. Dari perumusan strategi tersebut baru kemudian ditentukan kebutuhan pendanaan dan instrumennya.
Dia menilai untuk target bauran energi EBT 23 persen pada 2025, kalau tidak ada terobosan maka pastinya tidak akan tercapai.
Pasalnya, untuk mencapai target 23 persen pada 2025 dengan pertumbuhan listrik rerata 5 pada per tahun, maka setiap tahun perlu dibangun minimal 3.000 MW pembangkit EBT sehingga pada 2025 ada tambahan 15.000 MW.
"Sementara dalam 5 tahun 2015-2019, penambahan kapasitas pembangkit ET hanya 1,6 GW. Bahkan pada periode 2017-2019 hanya bertambah sekitat 700-an MW," tutur Fabby.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menuturkan tak ada harmonisasi dan koordinasi lintas sektoral.
Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan belum ada kesepakatan dalam pemberian fiskal insentif kepada investor EBT.
"Belum lagi masalah pembebasan tanah dan perizinan dengan pemerintah daerah," ujarnya.
Menurutnya, memang investor perlu diberikan fiskal insentif dan perbankan dengan pemberlakuan bunga rendah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi investor.
"Bukan tarif insentif karena ujung-ujugnya dibebankan kepada rakyat. Oleh karena itu Permen 50/2017 terkait feed-in-tariff jangan diubah," ucap Fahmy.