Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Untuk Ketiga Kali, Pemerintah Revisi Defisit Jadi 6,34 Persen

Pelebaran defisit fiskal disebabkan oleh outlook shortfall pendapatan negara yang masih jauh dari ekspektasi dan besarnya kebutuhan anggaran pemulihan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah untuk ketiga kalinya kembali mengubah outlook defisit APBN tahun 2020 dari 6,27 persen menjadi 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Pelebaran defisit fiskal ini merupakan implikasi dari outlook shortfall pendapatan negara yang masih jauh dari ekspektasi. Di satu sisi, tingginya kebutuhan anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) memaksa pemerintah menambalnya dengan meningkatkan jumlah pembiayaan di dalam APBN.

"Insya Allah direncanakan aktual seperti itu [defisit 6,34 persen]," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani kepada Bisnis, yang dikutip Rabu (3/6/2020).

Dokumen Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Selasa (2/6/2020) menunjukkan volatilitas anggaran ini banyak dipengaruhi perubahan outlook belanja negara. Total outlook belanja APBN tahun 2020 mencapai Rp2.738,4 triliun atau lebih tinggi Rp124,5 triliun dari outlook Perpres No.54/2020.

Angka per 2 Juni ini juga lebih tinggi skema outlook belanja negara yang kedua yakni Rp2.720,1 triliun.

Otoritas fiskal dalam dokumen ini juga menyebutkan melonjaknya kebutuhan belanja ini setidaknya dipicu oleh perubahan komponen dalam struktur belanja negara. Pertama, subsidi LPG yang semula Rp6,5 triliun menjadi Rp9,95 triliun. Pembengkakan subsidi LPG ini terjadi karena penyesuaian harga kontrak dengan Aramco.

Kedua, naiknya komponen belanja lain-lain yang dalam skema kedua semula Rp491,5 triliun menjadi Rp503,9 triliun. Jumlah ini jika dibandingkan dengan outlook dalam Perpres No.54/2020 melonjak sebanyak 143,8 triliun.

Penambahan outlook belanja lain-lain ini terutama disebabkan oleh meningkatnya alokasi anggaran untuk tambahan belanja stimulus dari Rp60 triliun menjadi Rp73,4 triliun. Komponen belanja stimulus yang melonjak signifikan adalah belanja imbal jasa penjaminan dari Rp5 triliun menjadi Rp15 triliun.

Bertambahnya alokasi belanja negara ini kemudian memicu pembengkakan outlook pembiayaan. Jika skema outlook anggaran sebelumnya mematok defisit di angka Rp1.028,5 triliun, skema terbaru menjadi Rp1.039,2 triliun.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper