Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Defisit Melebar, Utang Bruto Tembus Rp1.600 Triliun

Kebutuhan pembiayaan utang meningkat dari Rp1.439,8 triliun menjadi Rp1.633,6 triliun akibat defisit yang melebar hingga ke kisaran enam persen terhadap PDB.
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman (tengah), Direktur Surat Utang Negara Loto Srinaita Ginting (kiri), dan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Nufransa Wira Sakti memberikan keterangan, di Jakarta, Jumat (6/4/2018)./JIBI-Dwi Prasetya
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman (tengah), Direktur Surat Utang Negara Loto Srinaita Ginting (kiri), dan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Nufransa Wira Sakti memberikan keterangan, di Jakarta, Jumat (6/4/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA - Perkiraan (outlook) kebutuhan pembiayaan utang bruto meningkat akibat pelebaran defisit dan penambahan pembiayaan investasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Secara bruto, kebutuhan pembiayaan utang meningkat dari Rp1.439,8 triliun menjadi Rp1.633,6 triliun.

Pemerintah mencatat realisasi pembiayaan SBN sejak awal tahun hingga 20 Mei 2020 sudah mencapai Rp420,8 triliun dan penurunan GWM Perbankan serta PLM oleh telah membantu pembiayaan SBN hingga Rp110,2 triliun.

Dengan ini, kebutuhan pembiayaan bruto yang tersisa dan harus dipenuhi per Juni hingga Desember 2020 mencapai Rp990,1 triliun.

Sisa penerbitan SBN per Juni hingga akhir tahun ini akan dipenuhi dengan lelang SBN di pasar domestik, mulai dari penerbitan SBN ritel dengan target sebesar Rp40 triliun hingga Rp50 triliun, SBN valas dengan target sebesar US$4 miliar hingga US$7 miliar, private placement, hingga pembelian SBN dengan skema khusus oleh Bank Indonesia (BI) sebagai last resort.

Berbeda dengan sebelumnya, nominal sebesar Rp990,1 triliun yang dikeluarkan oleh pemerintah kali ini sudah memperhitungkan kebutuhan pembiayaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pada Perpres No. 54/2020 dianggarkan sebesar Rp150 triliun.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan akan ada skema khusus berbentuk surat keputusan bersama (SKB) untuk pemenuhan pembiayaan khusus Program PEN.

"Saat ini skema ini masih terus didiskusikan secara intensif dan jika sudah disepakati pasti akan kita umumkan," ujar Luky, Selasa (26/5/2020).

Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan above the line, Kementerian Keuangan masih belum memberikan indikasi adanya perubahan kebijakan terkait penerbitan ataupun peningkatan peran BI yang saat ini adalah sebagai non-competitive bidder. "Peran BI adalah sebagai last resort dengan mengedepankan mekanisme pasar," kata Luky.

Dalam SKB tahap I antara Kemenkeu dengan BI yang telah disepakati dan berjalan sejak 21 April 2020, jumlah maksimal pembelian non-competitive BI pada SUN adalah 25 persen, sedangkan pada SBSN sebesar 30 persen dari target maksimum lelang. Bila hasil lelang berada di bawah target, green shoe option (GSO) akan diambil.

GSO dilanjutkan dengan private placement. Dengan catatanbila GSO masih belum juga bisa memenuhi target lelang.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan dalam situasi sekarang pemerintah sudah tidak bisa lagi mengandalkan mekanisme pasar, baik dari pembelian oleh asing maupun oleh investor domestik.

"Kalau kita lihat besarnya stimulus yang meningkat dan tidak lagi sebesar Rp405,1 triliun, artinya besar defisit juga meningkat dan kebutuhan pembiayaan menjadi jauh lebih besar," kata Piter, Selasa (26/5/2020).

Pemerintah sudah menyadari kurang bisa diandalkannya investor umum sehingga sejak awal pemerintah mengeluarkan klausul pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 yang mengizinkan BI membeli SBN pada pasar perdana.

"Strategi itu untuk mengantisipasi rendahnya permintaan SBN di masa wabah Covid-19," ujar Piter.

Meski sejak April hingga pertengahan Mei 2020 tercatat ada net inflow sebesar US$4,1 miliar, hal ini masih belum mengindikasikan peningkatan peranan investor asing dalam pembelian SBN domestik di pasar primer pada bulan-bulan ke depan.

Piter mengatakan investor akan tetap membandingkan imbal hasil yang paling menarik antara SBN pada pasar primer dan pasar sekunder.

"Pasar sekunder bisa jadi menawarkan kupon yang tinggi dan harganya murah, tapi SBN di pasar primer sekarang ini juga menawarkan kupon yang cukup tinggi," kata Piter.

Dengan ketidakpastian pasar tersebut, BI masih memainkan peran penting untuk mengisi ruang yang tidak mampu ditutup oleh pasar.

Seperti diketahui, defisit APBN 2020 yang pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2020 sudah melebar ke nominal Rp852,9 triliun atau 5,07 persen dari PDB diproyeksikan kembali melebar hingga Rp1.028,5 triliun atau 6,27 persen dari PDB.

Dari sisi pembiayaan utang neto, pembiayaan utang meningkat dari Rp1.006,4 triliun pada Perpres No. 54/2020 menjadi Rp1.206,9 triliun, meningkat Rp200,5 triliun dibandingkan sebelumnya.

Peningkatan pembiayaan utang lebih tinggi dibandingkan peningkatan defisit anggaran oleh karena adanya tambahan pembiayaan investasi yang dianggarkan oleh pemerintah dalam Program PEN.

Dari catatan Bisnis, pembiayaan investasi meningkat dari Rp229,3 triliun pada Perpres No. 54/2020 menjadi Rp253,3 triliun pada outlook terbaru, meningkat Rp24 triliun.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Muhamad Wildan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper