Bisnis.com, JAKARTA - Kebutuhan pembiayaan utang semakin bertambah seiring dengan meningkatnya beban perekonomian dan beban anggaran.
Defisit APBN 2020 yang pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2020 ditetapkan melebar hingga Rp852,9 triliun atau 5,07 persen dari PDB dan angka ini kembali melebar hingga Rp1.028,5 triliun atau 6,27 persen dari PDB.
Dengan ini, ada pelebaran defisit anggaran sebesar Rp175,6 triliun dari yang telah dianggarkan sebelumnya.
Dari sisi pembiayaan utang neto, kebutuhannya meningkat dari Rp1.006,4 triliun pada Perpres No. 54/2020 menjadi Rp1.206,9 triliun, meningkat Rp200,5 triliun dibandingkan sebelumnya.
Peningkatan pembiayaan utang lebih tinggi dibandingkan peningkatan defisit anggaran oleh karena adanya tambahan pembiayaan investasi yang dianggarkan oleh pemerintah dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Tercatat, pembiayaan investasi meningkat dari Rp229,3 triliun pada Perpres No. 54/2020 menjadi Rp253,3 triliun pada outlook terbaru, meningkat Rp24 triliun.
Baca Juga
Secara bruto, kebutuhan pembiayaan utang pun meningkat dari Rp1.439,8 triliun menjadi Rp1.633,6 triliun.
Pemerintah mencatat realisasi SBN hingga 20 Mei 2020 sudah mencapai Rp420,8 triliun dan penurunan GWM Perbankan serta PLM oleh telah membantu pembiayaan SBN hingga Rp110,2 triliun.
Dengan ini, kebutuhan pembiayaan bruto yang tersisa dan harus dipenuhi per Juni hingga Desember 2020 mencapai Rp990,1 triliun.
Akibatnya, rasio utang terhadap PDB pada 2020 diproyeksikan meningkat menjadi 37,6 persen, melonjak lebih tinggi dibandingkan rasio utang terhadap PDB pada 2019 yang hanya 30,2 persen.
Lebih lanjut, rasio utang terhadap PDB diproyeksikan masih terus tinggi pada 2023 dengan rasio mencapai 37,3-38,3 persen, sedangkan defisit anggaran dipastikan akan kembali di bawah 3 persen dari PDB sesuai dengan batasan pada UU Keuangan Negara. Pada 2023, defisit anggaran diproyeksikan kembali pada level 2,4-2,7 persen dari PDB.