Bisnis.com, JAKARTA - Perubahan defisit APBN 2020 yang semula di kisaran 5,07 persen menjadi 6,27 persen menulai polemik.
Sebagian pengamat & DPR menyoroti perubahan defisit yang mendadak ini bukti ketidakbecusan pemerintah dalam memproyeksi dampak covid - 19 terhadap pengelolaan fiskal.
Kendati demikian, pemerintah memiliki versinya sendiri. Kementerian Keuangan memastikan bahwa penetapan defisit fiskal ini telah memperhitungkan dinamika ekonomi yang terjadi.
Lantas apa jawaban pemerintah terkait kritik dari DPR maupun pengamat? Melalui Staf Khususnya, Yustinus Prastowo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab.
Pertama, dalam konferensi pers 18 Mei lalu, Sri Mulyani tidak membahas rencana perubahan postur APBN, tetapi update tentang Program PEN, usai sidang kabinet presiden & seluruh menteri.
Dalam rapat jg dibahas banyak hal, antara lain potensi pelebaran defisit yang disepakati harus terjadi sebagai konsekuensi dinamika ekonomi
Baca Juga
Kedua, terkait dinamika Program PEN antara lain wacana penambahan masa pemberian bansos, penambahan subsidi bunga tentu menambah belanja. Sementara realisasi pendapatan negara sampai April 2020 sudah ada, sehingga bisa mengukur kinerja APBN.
Ketiga, rumus APBN semua paham, Pendapatan Negara-Belanja Negara Keseimbangan Primer, lalu defisit (jika belanja>pendapatan). Jika pendapatan turun belanja naik, konsekuensi matematisnya defisit naik, sehingga pembiayaan juga bertambah.
Keempat, Perppu 1/2020 (UU2/2020) sebenarnya memberi kewenangan besar kepada Presiden untuk mengubah postur APBN dengan Perpres saja. Namun Pemerintah berkomitmen terus berkomunikasi dan diskusi dengan DPR, Komisi XI dan Banggar, dan berjalan dengan baik sampai saat ini.
Kelima, inilah kenapa kmrn sempat ada sedikit kesalahpahaman yang tak perlu terjadi. Menkeu sudah rapat dengan pimpinan Banggar & Kapoksi, Minggu depan dengan Komisi XI. Ini masih mendiskusikan perkembangan angka dan skema, belum ada keputusan final berupa revisi Perpres 54.
Keenam, jika mau fair, juga ada dalam dilema bukan? di satu sisi Pemerintah melalui Kemenkeu berhitung cermat agar APBN tetap kredibel & akuntabel, di sisi lain ada dorongan kebutuhan yang cukup besar, entah cetak uang Rp600 triliun, Rp16.00 triliun. Kalau ikuti logika ini, defisit bengkak?
Ketujuh, konteks ekonomi politik yang dinamis seperti ini mestinya menjadi background berpikir dan berpendapat yang jernih. Apalagi kebutuhan belanja demi bansos dan pemulihan ekonomi utamanya UKM, apa mau dipersoalkan? Kok rasanya kita tak ingin berputar-putar di sini saja kan?
Kedelapan, angka-angka itu sangat mungkin akan bergerak lagi, dinamis. Tapi itu bukan karena Kemenkeu tidak punya daya analisis mendalam dan gagal membangun indikator. Justru karena responsif maka terus dihitung ulang. Intinya "keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi". Ini prinsip utama.
Kesembilan, pemerintah terus berkomitmen mengerahkan seluruh daya upaya untuk menangani pandemi dan memulihkan perekonomian rakyat. Komunikasi dan koordinasi terus dilakukan. Termasuk dalam Kabinet, KSSK, dan dengan DPR, BPK, dan KPK.