Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mengusulkan proses bagi pemeriksaan calon penumpang pesawat tidak lebih mahal dari biaya tiket penerbangannya itu sendiri.
Hal ini terjadi akibat diharuskannya penumpang melalui polymerase chain reaction (PCR) swab yang biayanya bisa mencapai Rp2,5 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan tidak dapat dipungkiri yang menggunakan pesawat terbang itu akan masuk klasifikasi orang-orang yang harus terbang, sementara masyarakat yang mau terbang harus berpikir dua samapi tiga kali untuk menggunakan jasa penerbangan karena prosesnya lebih kompleks dan lebih mahal.
"Proses mahal itu [harusnya] tidak lebih mahal dari tiket pesawat itu sendiri, PCR test itu yang dilakukan Rp2,5 juta biayanya beberapa sudah turunkan harganya. Harganya ini jauh lebih mahal dari biaya bepergian dari satu kota ke kota lain khususnya yang berdekatan seperti Jakarta—Surabaya," jelasnya dalam Webinar bersama Kemenhub, Selasa (2/6/2020).
Dengan demikian, apabila seseorang melakukan perjalanan lebih dari tujuh hari dan harus melakukan PCR test dua kali dengan biaya hingga Rp5 juta sedangkan biaya penerbangannya saja bolak balik bisa Rp1,5 juta. Biaya proses sebelum terbangnya menjadi jauh lebih mahal daripada biaya perjalanannya itu sendiri.
Dia menilai ke depan industri ini menghadapi penurunan penumpang yang sangat drastis, karena pola yang terjadi ini. Kemudian, menjadi kepentingan bersama industri dan regulator memastikan pemulihan di sektor ini dapat berlangsung.
Baca Juga
"Ke depan industri ini akan hadapi penurunan yang begitu drastis, kami dapat konsensus analis, recover sebelum Covid-19 ini dalam masa 2—3 tahun," imbuhnya.
Di sisi lain, Garuda Indonesia tidak dapat seperti maskapai lain ketika sepi penumpang dapat menghentikan layanannya. Pasalnya, sebagai maskapai penerbangan nasional (BUMN) Garuda Indonesia memiliki kewajiban memastikan konektivitas antar wilayah tetap harus berjalan.
Secara bisnis, terangnya, pendapatan Garuda sudah hilang hingga 90 persen, dan saat ini hanya menerima pendapatan 10 persen dari biasanya.
Ditambah lagi, 70 persen pesawatnya diparkir atau tak beroperasi sementara 30 persen sisanya beroperasi dengan jumlah penumpang di bawah 50 persen kapasitas pesawat.