Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 telah mengganggu rantai pasokan global yang dalam dua dekade terakhir berpusat di Tiongkok.
Alhasil, negara-negara seperti Jepang dan Amerika Serikat berencana memutus ketergantungan rantai pasokan global industrinya dari Tiongkok.
Pemerintah Jepang misalnya, telah menggelontorkan paket stimulus ekonomi senilai USD2,2 miliar untuk membantu industrinya mengalihkan produksi dari Tiongkok.
Anggaran itu termasuk 220 miliar yen untuk perusahaan yang mengalihkan produksi kembali ke Jepang dan 23,5 miliar yen untuk yang ingin memindahkan produksinya ke negara lain.
Sama halnya dengan pemerintah Amerika Serikat yang dikabarkan tengah menyiapkan pemberian subsidi dan insentif pajak bagi perusahaan yang mau memindahkan pabriknya dari Tiongkok ke negara lain.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai bahwa fenomena tersebut merupakan suatu kesempatan emas bagi Indonesia.
Baca Juga
Apalagi saat ini Indonesia sangat membutuhkan investasi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan menggaet investor untuk menanamkan modalnya di tanah air.
Sebab, pasca pandemi ini, khususnya investasi asing menjadi lebih penting mengingat pelaku usaha dalam negeri tengah 'kehabisan nafas'.
"Indonesia sebetulnya memiliki peluang untuk menarik investasi yang akan keluar dari Tiongkok ke tanah air. Salah satu daya tarik investasi Indonesia adalah pasar yang besar. Investor luar negeri juga menganggap Indonesia sebagai negara dengan potensi pertumbuhan pasar yang besar," ujarnya, Kamis (28/5/2020).
Meski begitu, untuk menjadi tujuan relokasi dari Tiongkok, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain seperti India, Thailand, Vietnam dan Filipina. Tahun lalu, setidaknya sebanyak 33 perusahaan hengkang dan merelokasi pabriknya dari Tiongkok.
Namun, alih-alih memilih relokasi ke Indonesia, perusahaan-perusahaan tersebut lebih memilih memindahkan basis produksinya ke Vietnam dan Thailand, salah satunya karena persoalan harga lahan.
Menurut Tauhid, selain harga lahan, ada beberapa faktor yang menjadi kekhawatiran investor asing saat ingin berinvestasi di Indonesia.
Pertama, kenaikan upah yang terlalu tinggi. Setiap tahun kenaikan upah tenaga kerja di Indonesia mencapai 7 persen - 8 persen. Sementara kenaikan upah di negara-negara seperti Vietnam maupun India hanya berkisar 4 persen - 5 persen.
Kedua, infrastruktur untuk jaringan logistik yang masih kurang. Ketiga, investor asing enggan melirik Indonesia yang terkenal dengan birokrasi yang berlapis, salah satunya urusan perpajakan. "Investor Jepang, misalnya, masih menganggap prosedur perpajakan di Indonesia cukup rumit," ujar Tauhid.
Menurutnya, sejumlah perubahan telah digagas Pemerintah dengan memberikan wewenang yang lebih luas kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai upaya untuk memangkas jalur birokrasi.
Namun, langkah reformasi struktural serupa belum ditemukan merata di lapisan birokrasi lain, sehingga investor dari luar negeri masih menemui hambatan di lapangan.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus bisa memberikan kepastian hukum bagi pengusaha yaitu meningkatkan produktivitas tenaga kerja lokal, mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung, memberikan fasilitas yang memudahkan investasi dan menawarkan insentif terkait perpajakan yang menarik, serta mengakselerasi reformasi birokrasi dan regulasi terkait penanaman modal.
Selain itu, demi mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi destinasi investasi, pemerintah dinilai perlu terus meningkatkan kebijakan pro investasi untuk mendorong masuknya permodalan asing yang diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, khususnya paska resesi pandemi Covid-19.
"Relokasi investasi dari Tiongkok, yang sebagian besar di sektor manufaktur dipercaya dapat memperbaiki tren investasi yang selama ini didominasi sektor tersier dan sektor jasa," ujarnya.
Selama ini minimnya industri manufaktur di dalam negeri menempatkan Indonesia hanya sebagai pasar. "Untuk mewujudkan visi menjadi salah satu negara produsen bukan hanya sebagai pasar, dibutuhkan akses terhadap bahan baku yang mencukupi untuk mengembangkan industri manufaktur di tanah air," ujarnya.
Di sisi lain, dia memandang insentif yang tepat untuk industri manufaktur juga perlu dipertimbangkan, tidak sekedar tax holiday. Industri manufaktur umumnya bersifat padat modal dan menyerap tenaga kerja, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mencapai titik break-even, sehingga insentif tax holiday dinilai kurang menarik.
"Insentif bagi investasi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing industrinya untuk menjaga kesuksesan dan keberlangsungan investasi dalam jangka panjang," ujarnya.