Bisnis.com, JAKARTA - Riuh rendah soal anggaran pemulihan ekonomi nasional dari pandemi merembet ke dunia maya.
Ada yang mendukung, netral, bahkan mengkritisi kebijakan pemerintah dalam mengelontorkan dana ratusan triliun yang 'judulnya' untuk pemulihan ekonomi. Saling sindir dan adu argumen terkadang memunculkan debat panas. Sebagian bahkan berujung ancaman somasi.
Salah satu peristiwa yang sedang happening di jagad Twitter adalah perang cuitan antara Muannas Alaidid, politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menjadi partai pendukung pemerintah, dengan jurnalis senior Farid Gaban.
Pangkal persoalan bermula dari cuitan Farid yang mengomentari Launching UMKM Hub di salah satu marketplace yang terafiliasi dengan orang superkaya di negeri ini.
Tak tanggung-tanggung, launching ini menghadirkan pembicara Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki dan CEO Blibli Kusumo Martanto. Farid pun merespons acara itu dengan cuitan menggelitik.
"Rakyat bantu rakyat; penguasa bantu pengusaha. Gimana, nih, kang Teten Masduki? How low can you go?" cuit Farid yang dikutip, Kamis (28/5/2020).
Baca Juga
Tidak sampai disitu, Farid juga mencuit bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah sebagai tindakan anti solidaritas.
Dia menyebut di tengah wabah yang betkecamuk, muncul gerakan ‘rakyat bantu rakyat’, namun pemerintah justru memperlemah solidaritas yang tengah dibangun oleh rakyat.
Farid menilai lahirnya kebijakan kontroversial di tengah pandemi, misalnya keputusan untuk menaikan iuran BPJS; membahas dua UU kontroversial Minerba & Omnibus Law; serta menerbitkan surat utang ratusan triliun untuk menyelamatkan konglomerat & BUMN, berbau anti solidaritas.
Rupanya, cuitan yang sebenarnya lebih ke kritik soal isu di atas kemudian ramai & direspons oleh salah satu politisi pendukung pemerintah. Muannas Alaidid, sebagaimana dikutip dari Twitter pribadinya, menganggap sebagai hasutan dan tuduhan serius.
"Bagi saya ini tuduhan bukan kritik, saya juga tidak mau memonopoli pendapat saya paling benar, apalagi sampai narik-narik tokoh, jadi harus hukum memang yang buktikan itu tuduhan atau sekedar kritik," tulis Muannas dalam cuitannya.
Di sisi lain, alasan dari pemerintah sendiri sebenarnya cukup bagus. Pemberian suntikan dana dan relaksasi kepada konglomerat, termasuk BUMN, dimaksudkan supaya ekonomi tetap aman dan rakyat dibawahnya tetap menikmati penghasilan.
Dengan demikian, konsumsi bisa tetap jalan dan risiko melonjaknya angka kemiskinan bisa ditekan.
Singkatnya, langkah yang dipakai pemerintah ini mirip rumus trickle down effect atau efek menetas.
Penganut teori ini sangat percaya bahwa kegiatan ekonomi yang besar, dipelopori oleh kongsi-kongsi swasta maupun pemerintah, akan menggerakkan ekonomi yang berada di lapisan di bawahnya.
Makanya 'bantuan' dalam bentuk insentif atau fasilitas lainnya dikucurkan demi menjaga stabilitas ekonomi. Meskipun mekanisme pembiayaannya harus lewat utang yang rasionya kini telah tembus di atas 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Catatan Bisnis juga menunjukkan kebutuhan pembiayaan utang meningkat dari Rp1.439,8 triliun menjadi Rp1.633,6 triliun seiring keputusan pemerintah memperlebar ruang defisit di angka 6,27 persen dari (PDB).
Pertanyannya, apakah teori efek menetas ini bisa berjalan mulus? Atau justru kebalikannya, bantuan dan stimulus, akan melahirkan persoalan baru bagi pemerintah?
Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam konferensi pers terkait Pemuluhan Ekonomi Nasional (PEN) beberapa waktu lalu, telah berulang kali menekankan bahwa pemberian stimulus ekonomi akan dilakukan dengan governance atau tata kelola yang baik.
"Ini akan dilakukan dengan tata kelola dan akuntabilitas serta transparansi yang tinggi," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia.
Rupanya tidak hanya Sri Mulyani, Staf Khusus sang menteri yakni Yustinus Prastowo juga angkat bicara.
Dia ingin meyakinkan bahwa pengelolaan anggaran pandemi tetap mengedepankan transparansi dan batas-batas yang sudah ditetapkan undang-undang. Pemerintah juga terus berkoordinasi dengan pihak-pihak lain, termasuk DPR, BPK, dan KPK.
Persoalannya, apa yang dirumuskan dengan realita terkadang bicara lain. Apalagi sejarah mencatat, tak semua bantuan yang diberikan pemerintah berakhir sesuai ekspektasi.
Dua kejadian di krisis 1998 dan 2008, sebenarnya memberikan pelajaran. Jangankan menetas ke bawah, duit bantuan yang diberikan negara ke konglomerat dibawa ‘garong-garong’ ke luar negeri. Negara hanya kebagian melunasi utangnya sampai sekarang.
Ekonom INDEF Eko Listianto, dalam perbincangan via telepon belum lama ini, mewanti-wanti pemerintah bahwa memang benar ada kebutuhan dana yang disiapkan untuk recovery ekonomi dari pandemi Covid - 19.
Tapi memperlebar defisit hingga 6,27 persen, tentu punya konsekuensi, salah satunya beban recovery fiskal yang membutuhkan waktu cukup lama. Meskipun pemerintah mengklaim, angka defisit bakal kembali normal di kisaran 3 persen dari PDB pada 2023 mendatang.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa program - program yang dibiayai dari program PEN ini tepat sasaran alias jangan mengulang kejadian-kejadian yang telah lampau.
"Krisis 1998 membutuhkan waktu hingga 5 tahun. Kalau ini terjadi, pemulihan ekonominya juga bisa sama dengan 1998," tegas Eko.
Kajian OECD
Di sisi lain, banjir relaksasi & perubahan kultur pengawasan yang diakibatkan oleh pandemi Corona atau Covid-19 berisiko meningkatkan praktik kejahatan & penipuan pajak.
Organisasi untuk Kerja Sama & Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam publikasi terbarunya, Tax Administration: Privacy, Disclosure and Fraud Risks Related to Covid-19 menjelaskan program bantuan pemerintah, yang dilakukan dengan sangat cepat, memberikan ruang bagi individu dan bisnis melakukan praktik kejahatan, termasuk kejahatan pajak.
Menurut OECD, peningkatan aktivitas kejahatan pajak ini terjadi karena tingginya volume permintaan bantuan atau pengembalian dana tak sebanding dengan proses pengawasan yang dilakukan otoritas pajak. Apalagi praktik kerja jarak jauh juga akan mengurangi soliditas pemeriksaan pajak.
Salah satu skema 'fraud' yang berpotensi terjadi yakni modus membuat perusahaan baru untuk mengakses pembayaran bantuan langsung atau mendapatkan pengembalian pajak.
"Jika pembayaran bantuan dikaitkan dengan jumlah karyawan atau upah karyawan, ini juga dapat mencakup pencatatan fiktif," tulis OECD.
OECD juga menekankan masalah-masalah lain juga bisa muncul karena relaksasi kebijakan yang diberikan oleh otoritas kepada wajib pajak orang pribadi maupun badan.
Salah satu relaksasi yang berisiko memunculkan tax fraud adalah kebijakan membebaskan wajib pajak dalam memberikan bukti berdasarkan dokumen asli atau mengizinkan penyerahan salinan yang dipindai.
Kondisi ini diperburuk oleh makin lemahnya kemampuan bank dan lembaga keuangan lainnya sebagai pendukung otoritas dalam mendeteksi kecurangan karena berkurangnya layanan dan interaksi tatap muka.
Jadi di tengah kondisi yang serba terbatas, pemerintah tetap tidak boleh lengah. Niat baik perlu diikuti oleh governance yang baik pula. Jika tidak? Ya kasus-kasus pengelapan pajak hingga kasus keuangan besar seperti BLBI dan Century bisa terulang kembali. Dan lagi-lagi rakyat kecil harus menanggung 'dosa' para konglomerat.