Bisnis.com, JAKARTA – Sektor industri padat karya dinilai membutuhkan stimulus tambahan agar dapat melakukan penyerapan tenaga kerja yang optimal saat periode kenormalan baru (new normal) berjalan.
Adapun, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar memperkirakan potensi penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah akibat terdisrupsinya industri padat karya di tengah kenormalan baru belum akan terjadi di Indonesia dalam waktu dekat.
Pasalnya, aksi investasi pada usaha yang padat modal pun dinilai Timboel masih akan minim di tengah ketidakpastian ekonomi.
"Misalnya untuk pabrik tekstil, bagaimana pun jika mulai berproduksi akan tetap membutuhkan tenaga kerja. Mereka tidak akan langsung berinvestasi ke teknologi," ujarnya, Rabu (27/5/2020).
Bagaimana pun, kata Timboel, industri padat karya sendiri tetap perlu dipertahankan demi menjamin 136 juta angkatan kerja Indonesia tidak berakhir sebagai pengangguran. Oleh karena itu, dia mengatakan pemerintah perlu segera merealisasikan stimulus bagi industri padat modal agar dapat kembali berproduksi dan menyerap tenaga kerja.
"Pemerintah harus segera menggelontorkan stimulus yang dijanjikan karena pada situasi saat ini investor pun berpikir dua kali dalam menyiapkan modal mengingat konsumsi yang rendah di kuartal I/2020," ujarnya.
Timboel mengatakan stimulus dapat berupa pemberian pinjaman lunak dengan bunga rendah dan fasilitas bea masuk rendah untuk bahan baku impor bagi industri berorientasi ekspor. Dengan demikian, industri padat karya yang terdampak Covid-19 dapat kembali berproduksi.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat serapan kembali tenaga kerja di sektor manufaktur yang padat modal tetaplah membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Menurutnya, kegiatan produksi akan sangat bergantung pada tingkat permintaan baik di dalam negeri maupun di pasar global.
Dalam situasi ini, Bhima mengatakan bukan industri manufaktur saja yang memerlukan stimulus. Namun juga sektor-sektor potensial yang memerlukan tenaga kerja dalam jumlah banyak seperti pertanian.
Stimulus diperlukan untuk menjamin protokol kesehatan dapat diterapkan sehingga risiko terpapar wabah dapat ditekan.
"Di Vietnam misalnya, pemerintah setempat fokus ke manufaktur dan pertanian karena memang untuk menghindari krisis pangan," ujar Bhima.
Kala protokol kenormalan baru diterapkan, Bhima mengatakan sektor jasa berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terutama pada subsektor yang bergerak di bisnis digital dan telekomunikasi. Kendati demikian, jasa pariwisata disebutnya masih akan sulit bangkit karena amat bergantung dengan aktivitas masyarakat.
"Sektor pariwisata perlu waktu yang relatif lebih lama untuk menyerap tenaga kerja. Di era kenormalan baru aktivitas masyarakat tetap terbatas," katanya.