Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai telah menyia-nyiakan kesempatan untuk membantu rakyat dalam menghadapi kesulitan ekonomi akibat terdampak wabah Covid-19 karena tidak menurunkan harga bahan bakar minyak ketika harga minyak dunia sangat murah.
“Pemerintah seperti tidak berdaya mengendalikan harga BBM dan membiarkan manajemen Pertamina saat ini sangat lemah dan tidak profesional,” kata Bambang Haryo Soekartono, anggota Komisi VI DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Gerindra dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (12/5/2020).
Dia juga menyayangkan pemerintah, khususnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang tidak mampu mengendalikan PT Pertamina (Persero) agar segera menurunkan harga BBM.
“Padahal, masyarakat dan pelaku usaha di dalam negeri seharusnya bisa memanfaatkan harga BBM murah, khususnya solar, seiring dengan merosotnya harga minyak dunia untuk melindungi usahanya agar tidak hancur, tetapi itu tidak dilakukan Pertamina dan pemerintah terkesan apatis akan kondisi ini,” kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur tersebut.
Harga minyak mentah dunia sempat turun drastis sejak bulan lalu hingga sampai saat ini. Harga minyak mentah Brent untuk kontrak Juni anjlok ke bawah US$20 per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) US$12 per barel.
Menurut Bambang Haryo, harga minyak dunia sebenarnya sudah turun sejak awal tahun ini akibat permintaan industri anjlok setelah merebaknya wabah Covid-19 di Wuhan, China.
Dia mengatakan revaluasi harga BBM harus diprioritaskan untuk solar, baik yang disubsidi maupun nonsubsidi, sebab bahan bakar ini digunakan secara luas oleh sektor industri, transportasi, perikanan, pariwisata, pembangkit listrik, dan UMKM.
“Jadi apabila harga solar murah, dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian. Dunia usaha terbantu untuk bertahan hidup menghadapi dampak wabah Covid-19 sehingga bisa menggerakkan kembali ekonomi dan mencegah PHK massal,” ujarnya.
Energi Primer
Sebagai negara penghasil energi primer, tutur Bambang Haryo, Indonesia memiliki peluang besar untuk menghasilkan sendiri energi sekunder dengan harga lebih murah, seperti halnya listrik.
“Sudah menjadi tugas negara agar semua hasil energi primer bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tentu saja energi itu harus sesuai dengan harga sebenarnya supaya rakyat menikmati dampaknya guna mempertahankan hidup,” ungkapnya.
Bambang Haryo mendesak Presiden Joko Widodo turun tangan serta memperingatkan para menterinya dan Pertamina agar tidak terjebak dalam permainan spekulan atau kartel minyak.
“Ini kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk membuktikan benar-benar pro-rakyat. Jika harga solar turun sesuai harga sebenarnya, berarti Presiden telah berani menyikat kartel energi yang membuat harga BBM mahal,” ujarnya.
Berdasarkan data Globalpetrolprices.com, harga BBM khususnya solar terus turun sejak akhir Januari. Sebagian besar negara di Asean telah menyesuaikan harga solar seiring dengan penurunan harga minyak dunia, kecuali Indonesia.
Malaysia merupakan negara paling agresif menyesuaikan harga solar dan menjadi yang terendah di Asean, yakni 0,32 dolar AS per liter per 27 April 2020.
Negara-negara anggota Asean sangat paham dampak penurunan harga solar dapat berpengaruh terhadap multiplier economy, sedangkan Indonesia masih mempertahankan harga 0,67 dolar AS per liter sejak 2 Maret sampai sekarang.
Yang mengherankan, tutur Bambang Haryo, harga solar Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan negara Asean lainnya yang bukan penghasil minyak, seperti Filipina, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar.
Indonesia hanya lebih murah dari Singapura dan Laos . Tetapi di beberapa sektor harga solar di Singapura lebih murah daripada di Indonesia dan bahkan hingga Rp3.300 per liter.
Bambang Haryo kembali mengingatkan, harga solar yang mahal bisa menghancurkan sektor transportasi beserta sistem konektivitas nasional yang sangat kompleks dan dibangun dengan susah payah.